Oleh: edrasatmaidi2010 | November 7, 2010

HUKUM ALAM DAN HUKUM POSITIF

HUKUM ALAM DAN HUKUM POSITIF

Oleh: Edra Satmaidi[1]

Latar Belakang

Membicarakan hukum alam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan hukum positif. Sebagaimana dinyatakan W. Friedmann[2] dalam bukunya legal theory ”hukum alam, dalam berbagai bentuknya, sebagai satu ungkapan untuk mencari cita-cita yang lebih tinggi dari hukum positif. Demikian juga Hans Kelsen, menyatakan adanya dualisme antara hukum alam dan hukum positif, di dalam bukunya general theory of law and state. Kelsen, menegaskan bahwa diatas hukum positif yang tidak sempurna, terdapat hukum alam yang sempurna. Hukum positif baru teruji kebenarannya bila bersesuaian dengan hukum alam (positive law is justified only insofar as it corresponds to the natural law).[3] Perubahan kondisi-kondisi sosial dan politik menyebabkan gagasan tentang hukum alam pun berubah. Satu-satunya yang masih tetap adalah tuntutan pada suatu yang lebih tinggi dari hukum positif.[4] Dalam membicarakan hukum alam dan hukum positif, pembicaraan tentang keadilan menjadi bagian yang sering dipersoalkan dalam menemukan tatanan hukum yang lebih baik untuk mengatur perbuatan manusia. Apakah hukum positif  validitasnya tergantung pada hukum alam, sehingga hukum positif harus sesuai dengan hukum alam ? Atau hukum positif dapat menyimpang dari hukum alam karena validitasnya berasal dari norma hukum (yang lebih tinggi) itu sendiri atas dasar perintah penguasa atau negara yang menciptakan norma hukum tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijawab dengan menelusuri ajaran-ajaran hukum alam dan hukum positif dari beberapa ahli hukum pada zaman kuno sampai zaman modern.    

Dari uraian diatas ada dua persoalan yang akan ditelusuri dalam tulisan ini, yaitu:

  1. Apa perbedaan mendasar antara hukum alam dan hukum positif ditinjau dari beberapa pendapat ahli hukum?
  2. Bagaimana perspektif tentang keadilan menurut hukum alam dan hukum positif?

A. Hukum ALam

1. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Yunani dan Romawi

Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan semesta alam, dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Dalam filsafat kaum sofis hukum alam ditafsirkan sebagai ”hukum dari yang paling kuat”, yang sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut hukum alam disini, tidak lain daripada kekuasaan dan kekerasan.[5] Aristoteles merupakan orang yang pertama kali membedakan antara hukum alam dan hukum positif. Menurutnya, hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum ini tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam ini dibedakan dari hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.[6] Bagi kaum sofis, alam merupakan sesuatu yang bersifat eksternal, sesuatu yang berada diluar manusia. Sedangkan Aristoteles, dalam bukunya ”logika”memandang bahwa dunia sebagai totalitas yang meliputi seluruh alam. Manusia adalah bagian dari alam, diberkahi dengan akal yang aktif yang membedakannya dari semua bagian lain dari alam. Manusia hanya mampu membentuk kehendaknya sesuai dengan pengertian akalnya.[7] Tesis Aristoteles ini menjadi dasar konsepsi hukum alam para filsuf Stoa.

Aliran filsafat yang paling mempengaruhi pandangan orang Romawi mengenai hukum adalah aliran Stoa. Ide dasar Stoa ialah, bahwa semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang teratur (kosmos), berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan itu, yakni jiwa dunia (logos). Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang menjiwai segala.[8] Aliran ini berpendapat bahwa hidup bersama manusia mempunyai hubungan dengan logos yakni melalui hukum universal (lex universalis) yang terdapat dalam segala-galanya. Hukum universal itu terkandung dalam logos, dan sebagai demikian disebut hukum abadi (lex aeterna). Sejauh hukum abadi itu menjadi nyata dalam semesta alam, hukum itu disebut hukum alam (lex naturalis). Hukum alam ini tidak tergantung dari orang, selalu berlaku dan tidak dapat diubah. Hukum alam ini merupakan dasar segala hukum positif.[9] Para filsuf Stoa, membedakan antara cita-cita hukum alam yang nisbi dan absolut. Pada masa kegemilangan hukum alam, tidaklah terdapat keluarga, perbudakan, hak milik, maupun pemerintahan. Tetapi lembaga-lembaga ini menjadi penting dengan merosotnya moral umat manusia. Hukum alam ”nisbi” menuntut dari pembentuk perundang-undangan, adanya undang-undang yang dituntun oleh akal, dan sedekat mungkin pada hukum alam mutlak.[10] Sasaran tertinggi manusia ialah menjadi manusia yang adil, dengan tunduk kepada hukum alam (nomos) sebagai pernyataan Budi Ilahi (logos). Undang-undang negara ditaati karena sesuai dengan hukum alam. Bahkan pemikir-pemikir Stoa berpendapat bahwa masyarakat manusia dipertahankan dan dikembangkan karena ketaatan akan hukum alam.[11]

2. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Abad Pertengahan

St. Thomas Aquinas adalah filsuf terbesar dari aliran Scholastic di abad pertengahan. Ia menerima pengaruh dari Aristoteles tetapi menyatakannya dengan dogma agama Kristen sehingga merupakan suatu sistem pemikiran tersendiri. Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai ”peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya”. Oleh karena dunia ini diatur oleh tatanan Ketuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membedakan empat macam hukum, yaitu: lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana.[12]

Lex aeterna adalah akal keilahian yang menuntun semua gerakan dan tindakan dalam alam semesta. Hanya sebagian kecil saja dari lex aeterna yang bisa ditangkap oleh manusia melalui akal pikiran yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Bagian yang bisa ditangkap ini disebut sebagai lex naturalis, yang memberikan pengarahan kepada kegiatan manusia melalui petunjuk-petunjuk umum. Petunjuk yang paling dasar adalah, bahwa yang baik harus dilakukan, sedang yang buruk dihindari. Mengenai apa yang disebut baik, Thomas Aquinas mengaitkannya kepada apa yang merupakan kecendrungan alamiah pada manusia. Pertama, adalah insting manusia yang alamiah untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin dan hasrat untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Ketiga, manusia mempunyai hasrat alamiah untuk mengenal Tuhan dan kecendrungan untuk menolak ketidaktahuan. Keempat, manusia ingin hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk menghindari perbuatan yang merugikan orang-orang yang hidup bersamanya. Sementara lex divina adalah apa yang tercantum dalam kitab-kitab suci dan lex humana apa yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian baru serta Lama.[13]

Dengan demikian hukum alam menurut Thomas Aquinas tidak lain adalah bagian dari hukum Tuhan, bagian yang diungkapkan dalam fikiran alam. Manusia sebagai makluk yang berakal, menerapkan bagian dari hukum Tuhan ini terhadap kehidupan manusia, karenanya ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hal tersebut berasal dari prinsip-prinsip hukum abadi, sebagaimana terungkap dalam hukum alam, yang merupakan sumber dari semua hukum manusia.[14]

Lebih lanjut, Thomas Aquinas membagi konsep hukum alamnya atas dua jenis sebagai berikut:

  1. Principia prima, yaitu asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak dapat diasingkan daripadanya. Oleh karena itu, principia prima tidak dapat berubah menurut tempat dan waktu.
  2. Principia secundaria, yaitu asas yang bersumber dari principia prima, sebaliknya tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktu dan tempat. Seringkali asas ini dikatakan sebagai penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap principia prima. Penafsiran ini bervariasi, dapat baik atau buruk. Suatu penafsiran dapat mengikat umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.[15]

3. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Renaissance

Pada zaman renaissance ajaran mengenai hukum alam tidak lagi didasarkan pada paham ketuhanan (scholastik), melainkan didasarkan pada rasio manusia. Pendasar daripada hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius. Ia menulis dua buku yang terkenal yaitu De Jure Belli ac Pacis (tentang hukum damai dan perang) dan Mare Liberium (tentang hukum laut bebas). Grotius dipandang sebagai peletak dasar hukum internasional dengan menyebutnya sebagai hukum bangsa-bangsa (ius gentium). Ius gentium ini menurut Grotius merupakan hukum alam yang dipraktekkan oleh segala bangsa.

Menurut Grotius, hukum alam itu bersumber dari rasio manusia, yaitu merupakan pencetusan dari pikiran manusia apakah sesuatu tingkah laku manusia itu dipandang baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu dapat diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab penilaian terhadap tingkah laku manusia itu satu dengan lainnya harus didasarkan atas kesusilaan alam tersebut.[16] Hukum alam yang didapati manusia berkat kegiatan rasionalnya dipandang oleh Grotius sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif. Dalam hal ini Grotius menurut tradisi Skolastik. Namun ia menyimpang dari pandangan Skolastik dengan memastikan, bahwa hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. sebabnya ialah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain fihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta semesta alam. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pondamen hukum alam.[17] Dengan demikian Grotius juga mengakui bahwa disamping hukum alam yang bersumber pada rasio manusia, ada hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan, misalnya yang terdapat dalam Kitab Suci. Terhadap hal ini Apeldoorn melihat bahwa Grotius tidak konsekuen dengan pendapatnya. Dalam ”De Jure Belli ac Pacis”, Grotius mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi hukum alampun secara tidak langsung merupakan ciptaan Tuhan juga.[18]

Grotius mengemukakan prinsip rasional pertama dalam bidang hukum ialah setiap orang mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama orang lain secara damai. Kecendrungan ini ada pada manusia lepas dari kemauannya. Oleh karena itu kecendrungan ini dapat menjadi dasar yang objektif seluruh hukum.[19] Sehubungan dengan prinsip ini Grotius mengemukakan empat prinsip yang merupakan tiang dari seluruh sistem hukum alam yaitu: a) prinsip kupunya dan kaupunya. Milik orang lain harus dijaga. Jika barang-barang yang dipinjam membawa untung, untung itu harus diganjar; b) prinsip kesetiaan pada janji; c) prinsip ganti rugi, yakni kalau kerugian itu disebabkan karena kesalahan orang lain; dan d) prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum lain. Keempat prinsip ini ditemukan secara a priori sebagai prinsip segala hukum. Akan tetapi prinsip itu dapat juga ditemukan secara aposteriori, yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang beradab.[20]

Selanjutnya Grotius membagi hukum alam dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit adalah hukum yang sesungguhnya oleh karena menciptakan hak untuk menuntut, supaya diberikan apa yang termasuk padanya (facultas). Keadilan yang berlaku dalam bidang ini ialah keadilan yang melunasinya (penulis: keadilan komutatif). Sementara hukum alam dalam arti luas ialah hukum yang tidak menciptakan hak yuridis, melainkan hanya suatu hak berupa kepantasan (aptitudo). Keadilan yang berlaku dibidang ini ialah keadilan yang memberikan (penulis: keadilan distributif).[21]

Mengenai hubungan hukum alam dan hukum positif Grotius berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam negara sebab disetujui dan disahkan oleh yang berwibawa. Hukum ini (positif) tidak boleh melawan hukum alam, yakni tidak boleh menyuruh sesuatu yang terlarang oleh hukum alam. Tetapi hukum alam sebagai batas hukum positif boleh dilewati, jika dituntut oleh kepentingan umum negara.[22]

Berlawanan dengan Grotius, Thomas Hobbes tidak menerima adanya kecendrungan untuk hidup bersama pada manusia. Menurut Hobbes manusia sejak zaman purbakala seluruhnya dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Oleh karena dalam situasi asli belum terdapat norma-norma hidup bersama, maka orang primitif mempunyai hak atas semuanya. Maka timbullah apa yang disebut Hobbes bellum omnium contra omnes, manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Lama kelamaan orang mulai sadar akan keuntungan untuk mengamankan hidupnya dengan menciptakan suatu aturan hidup bersama bagi semua orang yang termasuk kelompok yang sama. Untuk mencapai aturan semacam itu semua orang harus menyerahkan hak-hak asli mereka atas segala-galanya dan harus menuruti beberapa kecendrungan alamiah yang oleh Hobbes disebut hukum alam (leges naturales). Hukum-hukum alam ini bukan hukum dalam arti yang sesungguhnya, tetapi hanya merupakan petunjuk yang harus diikuti jika tujuan hendak dicapai, seperti petunjuk carilah damai, serahkanlah hak aslimu, berlakulah terhadap orang lain sebagaimana kau ingin orang lain berlaku terhadapmu, dan tepatilah janji-janjimu.[23] Pentingnya prinsip bahwa janji harus ditepati paling menyolok dalam suatu persetujuan yang oleh Hobbes disebut kontrak asli, yaitu persetujuan orang-orang dalam suatu kelompok untuk membentuk suatu hidup bersama dan teratur. Persetujuan sosial yang asli inilah menjadi asal mula dari negara.[24]

4. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Pencerahan

John Locke, seperti halnya Hobbes juga menerangkan timbul  negara dan hukum dengan melukiskan situasi pada zaman primitif. Namun Locke merupakan penentang teori absolutisme dari Hobbes, dengan mengemukakan teori tentang hak-hak individu yang tidak bisa dicabut.[25] Pada zaman primitif itu orang-orang hidup menurut hukum-hukum alam. Hukum-hukum alam meliputi macam-macam bidang, yakni bidang kehidupan, kesehatan, kebebasan, milik. Dalam bidang kehidupan orang-orang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan hak untuk menjadi waris. Pelanggaran hak-hak itu dapat dihukum oleh tiap-tiap individu, sebab pada zaman itu tiap-tiap orang mempunyai kekuasaan hukum alam yang eksekutif  (the executive power of the law of nature).[26] Pada suatu ketika orang-orang primitif itu beralih dari keadaan asli kepada keadaan sipil. Dengan beralihnya manusia kepada keadaan sipil hukum alam primitif tidak lenyap. Hukum itu tetap berlaku, pun pula dalam hubungan antara negara. Buktinya ialah bahwa semua kontrak hanya berlaku berdasarkan suatu prinsip hukum alam: janji harus ditepati (keeping of faith). Namun supaya negara dapat berfungsi sebagai pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara, yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi. Sejak berdirinya negara bukan orang-orang yang bertugas untuk mengawal agar hak-hak pribadi dipertahankan, melainkan negara dan tata hukum. Sehingga tujuan negara tidak lain daripada menjamin hak-hak pribadi orang-orang. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk mencabut hak-hak alam dari pribadi manusia.[27]

John Locke menyebutkan ada tiga kekuasaan negara yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan yang tertinggi adalah kekuasaan legislatif. Oleh karena kekuasaan itu adalah yang tertinggi, maka dalam membentuk undang-undang pemerintah hanya harus tunduk pada hukum alam saja. Kekuasaan legislatif tidak hanya ditemukan dalam negara. Sekelompok orang dapat membuat undang-undang untuk hidup bersama mereka. Tetapi undang-undang itu baru menjadi sah sebagai hukum karena kekuasaan legislatif negara, yang mampu menentukan sanksi, kalau undang-undang itu dilanggar. Namun dilaih fihak kekuasaan legislatif pemerintah negara dibatasi, oleh karena rakyat memiliki kekuasaan yang melebihi kekuasaan legislatif. Rakyat berhak untuk merebut kembali kebebasan asli, kalau pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak melawan tujuan negara. Kekuasaan itu terikat pada hukum alam, yang tetap ada pada rakyat. Dengan demikian teori hukum alam John Locke mengandung suatu tendensi revolusioner: bilamana syarat-syarat tertentu tidak dipenuhi oleh pemerintah, revolusi diperbolehkan.[28]

Dalam bukunya De l ‘Esprit de Lois yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi the spirit of laws, Montesquieu menyatakan bahwa sebelum terdapat semua hukum ini, sudah ada hukum alam. Hukum alam ini berlaku sepenuhnya dalam keberadaan wujud kita sendiri. Untuk mendapatkan pengetahuan yang sempurna mengenai hukum ini, kita harus membayangkan manusia sebelum terbentuknya masyarakat: hukum-hukum yang berlangsung dalam keadaan itulah yang merupakan hukum alam.[29] Yang paling penting, meskipun bukan yang pertama, dari hukum alam adalah hukum yang membekas dalam pikiran kita yang telah dijadikan oleh Sang Pencipta agar kita condong kepadanya. Manusia dalam keadaan alamiah memiliki kecakapan untuk mengetahui sebelum ia mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dari belajar. Tentu saja ide-ide pertamanya sama sekali bukan ide-ide yang bersifat spekulatif; ia berpikir untuk mempertahankan kelangsungan dirinya sebelum ia menyelidi asal mula dirinya.[30]

Montesquieu mengemukakan generasi-generasi hukum alam, yang bertitik tolak pada keadaan alamiah manusia. Dalam keadaan alamiah manusia merasa tidak berdaya dan rasa lemah, rasa takut dan kekawatiran yang berlebihan, sehingga dalam kondisi itu mereka tidak mungkin menyerang satu sama lain; dengan demikian perdamaian jelas merupakan hukum alam yang pertama. Disamping adanya perasaan lemah ini manusia segera mendapati bahwa dirinya memiliki kebutuhan-kebutuhan. Dari sini satu hukum alam lainnya mendorong dirinya untuk mencari makanan. Disamping rasa takut membuat manusia menghindar satu sama lain, namun rasa takut ini juga mendorong manusia untuk hidup berkelompok. Dalam hidup berkelompok muncul ketertarikan diantara manusia dari jenis kelamin yang berbeda, dan kecendrungan alami yang mereka miliki satu sama lainnya ini merupakan hukum alam yang ketiga. Sementara hukum alam yang keempat muncul dari hasrat untuk hidup dalam masyarakat.[31]

Di dalam bukunya De l’Esprit des Lois (1748) Montesquieu seringkali menunjukkan dirinya sebagai seorang pembela hukum alam. Kendatipun demikian ia lebih meletakkan tekanan pada evolusi historis beraneka ragam tatanan hukum nasional;setiap bangsa mempunyai hukumnya masing-masing, yang terbentuk dari keadaan masa silamnya, kebiasaan-kebiasaan dan kesusilaannya, maupun oleh lingkungan alam sekitarnya (lingkungan geografis, iklim dan sebagainya). Dalam soal ini ia menyimpang dari hukum alam, dengan menyatakan bahwa hukum semua bangsa terdiri dari sejumlah aturan-aturan yang diilhami oleh Rasio dan oleh sebab itu berlaku universal dan tidak berubah-ubah yang ingin dijabarkan sesuai dengan “kodrat segala sesuatu” didunia ini.[32] Walaupun demikian Montesquieu tetap melihat adanya hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi konkrit suatu bangsa. Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku bagi manusia sebagai manusia. Tetapi bagaimana hukum alam dikonkretkan dalam bentuk negara dan hukum tergantung dari situasi historis, psikis dan kultural suatu bangsa. Maka undang-undang yang paling baik adalah undang-undang yang paling cocok dengan suatu bangsa tertentu.[33]

Berbeda dengan Hobbes, Locke dan Montesquieu, Jean Jacques Rousseau sama sekali tidak bicara mengenai suatu hukum alam pada manusia primitif. Hukum alam itu baru terdapat pada orang-orang yang sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial manusia menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun secara yuridis. Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita individualnya. Tetapi sesudah timbulnya masyarakat baru cita-cita individual itu diganti oleh cita-cita umum, yang berasal dari kehendak baru, yakni kehendak umum (volonte generale) yang kemudian melahirkan tujuan umum yaitu kepentingan umum. Sehingga kalau dalam masyarakat tertentu dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum, sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang, maka undang-undang itu harus dianggap tidak adil.[34]

Immanuel Kant mempunyai pandangan lain mengenai hukum alam. Menurutnya hukum alam tidak lain adalah hukum sebab akibat, yang menentukan alam secara deterministis. Latar belakang pandangan Kant ini ialah perpisahan antara bidang ‘ada’ dan bidang ‘harus’, bidang akal budi teoretis dan bidang akal budi praktis. Prinsip-prinsip aturan hukum termasuk bidang akal budi praktis, dan karenanya mewajibkan secara otonom. Tetapi aturan hukum sendiri termasuk bidang akal budi teoretis, oleh karena dialami sebagai gejala alam. Dalam bidang teoretis ini tidak terdapat kewajiban. Disini hanya berlaku hukum-hukum alam. Bila hukum termasuk alam, dan dengan ini berada di luar bidang moralitas, maka dapat dimengerti pula, bahwa kekerasan dan ancaman boleh digunakan untuk menjaga aturan hukum. Dengan ditegakkannya aturan hukum secara demikian, maka dengan tidak langsung aturan moral juga ditunjang. Menurut filsafat Kant undang-undang harus dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip umum hukum, sebagaimana ditangkap oleh akal budi praktis. Peraturan-peraturan negara adalah konkretisasi dari prinsip-prinsip umum itu. Sehingga ia menegaskan bahwa hukum hanya menjadi hukum oleh karena berasal dari yang berhak untuk membentuk hukum, yakni pemerintah.[35]

5. Ajaran Hukum Alam Neo-Kantian

Beberapa penganut Kant yang dikenal dengan Neo-Kantian, seperti Hans Kelsen dan Rudolf Stammler memberikan pendapat mengenai hukum alam secara berbeda. Dalam menjelaskan peraturan hukum dan hukum alam, Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan hukum merupakan bentuk logis dari hukum alam (the rule of law is the logical form of the law of nature). Seperti halnya peraturan hukum, hukum alampun menghubungkan dua fakta satu sama lain seperti kondisi dan konsekuensi. Yang dimaksud dengan kondisi disini adalah “sebab”, konsekuesi adalah “akibat”. Bentuk dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas (the fundamental form of the law of nature is the law of causality).[36] Perbedaan antara peraturan hukum dengan hukum alam tampaknya adalah bahwa peraturan hukum menunjuk kepada manusia dan perbuatannya, sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan reaksi-reaksinya. Namun demikian, perbuatan manusia, juga bisa menjadi kajian hukum alam asalkan perbuatan manusia juga termasuk fenomena alam. Prinsip yang digunakan ilmu (hukum) alam dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah kausalitas, sementara prinsip yang digunakan ilmu hukum dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah norma-norma.[37] Berbeda dengan Kelsen,  Stammler  sampai kepada suatu pemikiran hukum alam yang bersifat tidak abadi. Hal ini disebabkan karena dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena kebutuhan manusia ini berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka akibatnya hukum alam yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia.[38]

6. Hukum Alam Menurut Mochtar Kusumaatmadja

Mochtar Kusumaatmadja[39] mengemukakan bahwa hukum bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat, bukan hukum dalam arti ilmu pasti dan alam yang objeknya benda mati. Dalam hukum positif, objek yang diaturnya sekaligus merupakan subjek (pelaku). Ini mempunyai akibat yang penting bagi metode keilmuannya dan penjelasan tentang sebab-akibat (kausalitas). Hukum positif yang menjadi objek ilmu hukum positif tidak sepasti hukum ilmu alam. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia dan masyarakat, ia tidak diatur oleh metode ke-ilmuan ilmu pasti dan alam, melainkan oleh metode ke-ilmuan humanities (humaniora).[40]

Hukum positif yang mengatur perilaku (tingkah laku) manusia yang bukan benda mati melainkan makluk hidup yang mempunyai pikiran dan kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (etika), mempunyai konsekuensi tidak saja bagi metode keilmuannya tetapi juga bagi kausalitas.[41] Dari penjelasan Mochtar Kusumaatmadja tersebut jelas dapat dilihat bahwa ia membedakan antara hukum positif dan hukum alam itu secara tajam dan yang terpenting menurutnya bagi manusia adalah hukum positif.

7. Hukum Alam Sebagai Metode dan Hukum Alam Sebagai Substansi.

Mengutip Dias, Satjipto Rahardjo[42] mengemukakan berbagai anggapan atas hukum alam, yaitu:

  1. merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
  2. suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”;
  3. suatu metoda untuk menemukan hukum  yang sempurna;
  4. isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didedusikan melalui akal; dan
  5. suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

Dari anggapan diatas, hukum alam dapat dibedakan atas hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Sebagai metoda hukum alam merumuskan dirinya pada usaha untuk menemukan metoda yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma sendiri, melainkan hanya memberi tahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik. Sementara hukum alam sebagai substansi justru berisi norma-norma. Dalam anggapan ini, orang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan-peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim dikenal sebagai hak-hak asasi manusia.[43]


B. HUKUM POSITIF

Sebelum lahirnya aliran hukum positif, sudah dikenal adanya paham legisme yang mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum diluar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Paham legisme ini sudah berkembang semenjak abad pertengahan. Gerakan positivisme dalam ilmu hukum baru muncul pada abad ke-19. Pikiran-pikiran John Austin dan Hans Kelsen sangat mempengaruhi aliran positivisme hukum. Sebenarnya sebelum Austin, Jeremmy Bentham sudah  memperjuangkan adanya kodifikasi hukum Inggris yang memberikan kepastian hukum bagi hak-hak yang bersifat individual. Namun Bentham lebih sering dimasukkan kedalam Aliran Utilitarinisme[44], bersama-sama Rudolph von Jering.[45]

Dalam pandangan positivisme yuridis, hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Menurut positivisme yuridis ini pertimbangan-pertimbangan teoretis dan metafisis tidak diperbolehkan; positivisme yuridis merupakan suatu ajaran ilmiah tentang hukum.[46]

Dalam aliran positivisme hukum, dikenal adanya dua subaliran, yaitu: 1) aliran hukum positif yang analitis dari John Austin atau yang dikenal sebagai analytical jurisprudence; dan 2) aliran hukum positif yang murni, yang dipelopori dan dikembangkan oleh Hans Kelsen, yang dikenal dengan teori hukum murni (pure theory of law).

1. Aliran Hukum Positif yang Analitis

Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum sebagai a commond of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system .[47] Artinya peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan moral.[48] Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan, (didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk), didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.[49] Ajaran-ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persolan yang berbeda diluar bidang hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau hukum alam yang mempengaruhi warga-warga masyarakat, akan tetapi hal itu secara yuridis tidak penting bagi hukum.[50]

Oleh John Austin, hukum pertama-tama dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum Tuhan), yang tidak memiliki arti yuridis, dimana fungsinya tidak lain adalah menjadi wadah-wadah kepercayaan, dan undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia).  Kemudian hukum manusia digolongkan dalam undang-undang yang disebut sebagai hukum yang sebenarnya (hukum positif) dan undang-undang yang disebut hukum yang tidak sebenarnya. Undang-undang yang sebenarnya diadakan oleh suatu kekuasaan politk yang disebut sebagai hukum positif, sementara hukum yang tidak sebenarnya diadakan oleh orang-orang, secara pribadi. Hukum yang tidak sebenarnya ini oleh Austin disebut sebagai “moralitas positif” saja.

Hukum positif atau hukum yang disebut sebenarnya, yang masih ada, mempunyai ciri empat unsur, yakni perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.[51] Sehingga apabila hukum tidak memenuhi keempat unsur itu, maka tidak dapat disebut sebagai hukum positif, hal itu hanya dapat disebut sebagai moral positif. Keterkaitan keempat unsur hukum positif tersebut dijelaskan oleh Soerjono Soekanto,[52] sebagai berikut: hukum merupakan hasil dari perintah-perintah yang artinya adalah bahwa ada satu pihak yang  menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak dijalankan, dan penderitaan tersebut merupakan sanksi. Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan pembedaan kewajiban kepada pihak lain, hal mana terlaksana apabila yang memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Kedaulatan itu dapat dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).[53]

Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and state, mendukung pendapat Austin yang menyatakan setiap hukum atau peraturan merupakan suatu perintah. Atau lebih tepatnya hukum atau peraturan merupakan suatu spesies perintah. Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan pendapat Austin ini yaitu “perintah adalah suatu pernyataan kehendak seseorang dalam bentuk keharusan (imperatif) bahwa seseorang yang lain harus berbuat menurut suatu cara tertentu individu yang objeknya adalah perbuatan dari seorang individu lainnya. Lebih lanjut Kelsen menjelaskan bahwa seseorang individu terutama mungkin memberi bentuk imperatif kepada kehendaknya ketika dia memiliki, atau percaya diri memiliki, kekuasaan tertentu atas individu lain, ketika dia berada, atau mengira dirinya berada dalam posisi untuk mengharuskan kepatuhan. Perintah baru bisa disebut norma jika ia mengikat individu yang dituju oleh perintah itu, dan jika individu ini harus melakukan apa yang diharuskan oleh perintah tersebut, …A command is a norm only if it is binding upon the individual to whom it is directed, only if this individual ought to do what the command requires. [54]

Namun Kelsen tidak sepakat dengan Austin dengan menyatakan bahwa tidak setiap perintah yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan lebih tinggi mempunyai sifat mengikat. Kelsen mencontohkan perintah seorang bandit kepada seseorang untuk menyerahkan uangnya tidaklah mengikat, walaupun dalam kenyataannya bandit tersebut mampu untuk memaksakan kehendaknya. Suatu perintah  mengikat, bukan disebabkan individu yang memerintah mempunyai kekuasaan nyata yang lebih tinggi, tetapi perintah itu mengikat oleh karena individu tersebut diberi wewenang atau diberi kekuasaan untuk mengeluarkan perintah-perintah yang bersifat mengikat. Individu hanya berwenang atau berkuasa jika suatu tatanan normatif, yang dianggap mengikat, memberikan kapasitas ini kepadanya, yakni memberikan kompetensi untuk menerbitkan perintah-perintah yang mengikat.  Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen[55], …A command is binding, not because the individual commanding has an actual superiority in power, but because he is “authorized” or “empowered” to issue commands of a binding nature. And he is “authorized” or “empowered” only if a normative order, wich is presupposed to be binding, confers on him this capacity, the competence to issue binding commands.

Penekanan pada perintah dan sanksi ditentang oleh teori-teori yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari kekuasaan dan perintah, terutama oleh mazhab sejarah dari Von Savigny dan sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich. Soejono Soekanto[56] sebagai salah seorang penganut aliran hukum sosiologis, mengemukakan kelemahan dari ajaran analytical jurisprudence dari Austin dengan menyatakan bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya bersifat tertutup. Sistem yang tertutup secara mutlak akan menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah hukum terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, perubahan-perubahan mana disebabkan oleh timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru (yang kemudian menghasilkan kepentingan-kepentingan baru). Lagi pula suatu sistem hukum tak akan mungkin hidup lama apabila tidak mendapat dukungan sosial yang luas.

Pada abad ke-20 pikiran-pikiran Austin tentang hukum dikembangkan lebih lanjut oleh H.L.A. Hart yang tertuang dalam bukunya the concept of law. Hart menguraikan tentang ciri-ciri pengertian positivisme pada ilmu hukum dewasan ini sebagai berikut:

–          Hukum merupakan perintah dari manusia (commond of human being);

–          Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum disatu pihak dengan moral dipihak lain, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya;

–          Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis (mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum) maupun sosiologis (mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya), dan harus dibedakan pula dari penilaian yang bersifat kritis (baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya).

–          Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, dan didalamnya keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.

–          Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan (pengujian).[57]

2. Teori Hukum Murni (pure theory of law) dari Hans Kelsen

Pikiran-pikiran Hans Kelsen mengenai hukum dapat dikelompokkan atas empat hal, yaitu: 1) ilmu hukum adalah ilmu normatif; 2) teori hukum murni (pure theory of law); 3) norma dasar (basic norm atau grundnorm), dan 4) teori konretisasi hukum (Stufentheory). Penjelasan mengenai keempat hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini.

Ilmu hukum adalah ilmu normatif

Dari uraian Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state terlihat bahwa ia menekankan segi normatif dari hukum dari berbagai pembahasannya. Kelsen berusaha mencari suatu pengertian hukum yang murni. Untuk itu menurutnya hukum perlu diselidiki sebagai hukum terlepas dari pandangan-pandangan diluar hukum seperti psikologis, sosiologis, etika, politik, sejarah dan lain sebagainya. Menurut Kelsen hukum berada dalam dunia sollen ”keharusan” bukan dalam dunia sein “kenyataan”.  Bila hal ini terjadi, maka seharusnya hal itu terjadi pula. Nyatalah dalam rumusan prinsip ini bahwa relasi antara hal ini dan hal itu bersifat normatif. Artinya kalau hal ini terjadi belum tentu hal itu terjadi pula, tetapi seharusnya hal itu terjadi.

Bila dikaitkan dengan bidang hukum maka suatu kelakuan yang melawan hukum, harusnya disusul dengan hukuman, sekalipun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Oleh sebab sanksi yang dikenakan pada seseorang yang melanggar hukum tergantung dari penentuan oleh instansi-instansi negara, maka norma hukum, yang disusun untuk masyarakat umum, pertama-pertama harus dipandang sebagai imperatif bagi negara. Dari norma hukum sebagai imperatif bagi negara semua kewajiban individual dapat diturunkan.[58] Tegasnya ilmu pengetahuan hukum adalah suatu hirarki mengenai hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat, seperti ilmu alam. Oleh karena itu objek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat diketahui secara teoritis tentang tiap jenis hukum pada tiap waktu dan dalam tiap keadaan.[59] Kelsen menyebutnya sebagai teori yuristik (juristic theory) yang bisa juga disebut sebagai teori normatif (normative theory).

Teori yuristik menunjukkan hukum sebagai sistem norma yang valid. Objeknya adalah norma (norma umum maupun norma khusus). Teori yuristik hanya mempertimbangkan fakta-fakta yang ditentukan oleh norma-norma dengan satu cara atau cara lain. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang digunakan oleh teori ini dalam mendeskripsikan objeknya bukanlah pernyataan tentang kenyataan melainkan tentang keharusan.[60]. Dasar validitas suatu norma selalu berupa norma, bukan fakta (the reason for the validity of a norm is always a norm, not a fact). Pencarian landasan validitas suatu norma menuntun kita bukan kepada realitas melainkan kepada norma lain yang menjadi sumber lahirnya norma tersebut. Norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi, kita sebut sebagai “norma dasar” (penulis: basic norm atau grundnorm). Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma.[61] Sehingga dapat disimpulkan bahwa tatanan hukum adalah tidak lain merupakan suatu sistem norma.

Teori hukum murni

Teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan, “apakah hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah hukum yang seharusnya?”[62] Tatanan hukum positif merupakan hukum sebagaimana adanya, tanpa mempertahankannya dengan menyebutnya adil, atau menghujatnya dengan menyebutnya tidak adil. Tatanan hukum positif berusaha menghadirkan hukum yang nyata dan mungkin, bukan hukum yang benar.[63] Oleh karena itu, menurut Kelsen pembicaraan mengenai keadilan harus dikeluarkan dari ilmu hukum, sebab hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda.

Kecendrungan untuk menyamakan hukum dan keadilan merupakan kecendrungan untuk membenarkan tatanan sosial tertentu. Ini suatu kecendrungan politik, bukan kecendrungan ilmiah. Teori hukum murni sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan adil atau tidaknya hukum tertentu, karena pertanyaan tersebut sama sekali tidak dapat dijawab secara ilmiah.[64] Bagi Kelsen yang terpenting adalah apakah perbuatan seseorang berdasarkan atau tidak berdasarkan hukum positif. Sehingga adil atau tidak adilnya suatu perbuatan tertentu semata-mata dilihat dari sudut hukum itu sendiri, bukan berdasarkan pada pertimbangan etis, sosiologis maupun politis, tetapi menurut pertimbangan hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsen yang menyatakan: “the statement that the behavior of an individual is “just” or “unjust” in the sense of “legal” or “illegal” means that the behavior corresponds or does not correspond to a legal norm which is presupposed as valid by the judging subject because this norm belongs to a positive legal order.”[65]

Dengan alasan tersebut diatas Kelsen berpendapat hukum harus dibebaskan dari pertimbangan/penilaian non-yuridis seperti etis, sosiologis, politis, sejarah dan sebagainya. Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, dan menghindarkan diri dari penilaian baik dan buruk suatu norma hukum tertentu. Dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Ajarah hukum Hans Kelsen hanya memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein/kenyataan sosial. Hukum merupakan sollenskatagori dan bukan seinskatagori: orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara. Hukum itu tidak lain merupakan suatu kaedah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya. Yang membeli barang seharusnya membayar. Apakah dalam kenyataanya sipembeli itu membayar atau tidak, itu soal yang menyangkut kenyataan dalam masyarakat dan hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum[66], tetapi hal tersebut sudah memasuki wilayah sosiologi hukum.

Norma dasar (grundnorm/ basic norm)

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumya mengenai ilmu hukum sebagai ilmu normatif, norma dasar (grundnorm) merupakan pemberi keabsahan (dasar validitas) bagi setiap norma hukum yang berada dalam suatu tatanan hukum tertentu. Menurut hakikat norma dasar, dapat dibedakan dua jenis tatanan hukum (norma) atau sistem norma yang berbeda yaitu sistem norma yang statis dan sistem norma yang dinamis. Dalam sistem norma statis, norma-norma itu “valid” (sah dan berlaku) jika para individu yang perbuatannya diatur oleh norma-norma itu “harus” berbuat sesuai dengan yang ditetapkan oleh norma-norma tersebut, berdasarkan isinya, dimana isinya memiliki kualitas yang terbukti secara langsung menjamin validitasnya.[67] Sedangkan suatu norma merupakan bagian dari suatu sistem yang dinamis jika norma tersebut telah dibuat menurut suatu cara yang ditentukan oleh norma dasar.[68]

Hans Kelsen menegaskan bahwa norma dasar dari suatu tatanan hukum positif tidak lain adalah peraturan fundamental tentang pembuatan berbagai norma dari tatanan hukum positif itu. Norma dasar ini menetapkan suatu peristiwa tertentu sebagai peristiwa awal di dalam pembentukan berbagai norma hukum. Norma dasar ini merupakan titik awal dari proses pembentukan norma dan dengan demikian memiliki karakter yang sepenuhnya dinamis.[69]

Menurut Satjipto Rahardjo, [70] grundnorm sebagai suatu dalil akbar tidak hanya berfungsi sebagai dasar, tetapi juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan rejim grundnorm tersebut harus bisa mengait kepadanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum, tetapi ia selalu akan ada di situ, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak dituliskan.

Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.[71]

Teori konkretisasi hukum (stufentheory)

Teori konkretisasi hukum memandang sistem hukum sebagai bentuk piramid. Hukum membentang dalam proses yang bertahap, dari norma yang paling tinggi, yang paling abstrak, sampai kepada norma yang paling rendah, yang secara lengkap diindividualisasikan, konkret dan eksekutif.[72] Dengan kata lain teori ini melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkret, sampai kepada yang paling konkret. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum, lalu berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan dapat dilakukan.[73]

Teori konkretisasi hukum (stufentheory) melahirkan tata urutan norma-norma (hierarchy of norm), atau susunan norma-norma dari norma yang paling tinggi sampai norma yang paling rendah, membentuk suatu tatanan hukum tertentu. Menurut Hans Kelsen,[74] tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukkan norma yang satu (norma yang lebih rendah), ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi. Mengenai tata urutan norma-norma ini menurut Kelsen berbeda-beda dari setiap negara. Namun menurutnya dengan mempostulasikan norma dasar, konstitusi menempati urutan tertinggi didalam hukum nasional.[75]

Indonesia adalah salah negara yang menganut teori konkretisasi hukum ini. Penegasan sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam negara hukum Republik Indonesia pertama kali tertuang dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966,[76] kemudian diganti dengan TAP MPR No. III/MPR/2000[77], selanjutnya diatur dalam UU No. 10/2004[78] tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sementara posisi Pancasila diakui dan dijadikan sebagai hukum dasar nasional, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum positif Indonesia. Sehingga Pancasila merupakan grundnorm yang mengilhami, dan memberi dasar validitas  pembentukan dan pemberlakuan semua hukum positif di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai norma penutup dari urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) baik yang memberi manfaat (izin) maupun yang memberikan beban kepada masyarakat (misal pembebanan pajak, sanksi dsb) baik sebagai individu maupun sebagai badan (hukum). Konsep tata urutan (hierarkhie) peraturan perundang-undangan mengandung asas lex superior derogat legi inferiori yang berarti bahwa undang-undang yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarkhie perundang-undangan, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

C. PENUTUP

Sebagai penutup makalah ini, ada beberapa point penting yang dapat dikemukakan, yaitu:

  1. Hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi. Hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan dan ada yang bersumber dari rasio manusia. Hal ini yang membedakan hukum alam dengan hukum positif dimana eksistensi hukum positif tergantung dari kehendak kemauan manusia. Dengan kata lain adanya perintah dan adanya keinginan untuk mengikuti perintah itu, serta adanya sanksi dari masyarakat bila hukum itu tidak ditaati. Ketika masyarakat sudah hidup bernegara, institusi negara menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam pembentukan dan penegakkan aturan hukum melalui sanksi yang mempunyai daya paksa. Dengan demikian hukum positif dapat dirumuskan sebagai hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu dimana pembentukan dan pemberlakuannya sangat tergantung dengan kehendak penguasa atau negara.
  2. Pada zaman modern hukum alam kurang dianut orang. Kalupun ada, mereka lebih suka tidak mengatakan sebagai hukum alam, tetapi disebutnya sebagai asas-asas hukum umum[79] atau prinsip-prinsip hukum umum[80]. Beberapa asas hukum yang terkenal, misalnya datang dari Duguit dengan Solidarete Social-nya, Groundnormnya Hans Kelsen, Social Engineering dari Roscoe pound, Kulturentwicklung dari Kohler serta Regle Morale dari Ripert,. Asas-asas hukum umum ini walaupun bukan hukum alam, namun memiliki daya berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.[81] Pada saat ini hak asasi manusia, sebagai prinsip-prinsip hukum umum, wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh semua negara terhadap warga negaranya. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia juga dijadikan sebagai suatu ukuran untuk menentukan apakah suatu produk hukum itu baik atau tidak, demokratis atau tidak demokratis.
  3. Bagi aliran hukum alam, dasar validitas hukum positif  bersumber dari hukum alam. Hukum positif baru teruji keabsahannya bila sesuai dengan hukum alam.   Sementara menurut positivisme hukum, dasar validitas hukum positif bersumber dari norma hukum itu sendiri. Dasar validitas norma hukum yang satu berasal dari norma hukum lain yang lebih tinggi. Hukum positif menempatkan grundnorm sebagai dasar validitas tertinggi dari semua norma hukum.
  4. Hukum alam lebih menekankan pada usaha untuk menemukan hukum yang adil. Sementara hukum positif berupaya untuk mencapai suatu kepastian hukum. Bagi aliran hukum positif  suatu perbuatan yang menurut hukum dianggap adil, sebaliknya perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum dianggap tidak adil. Jadi disini yang ditekankan adalah keadilan menurut sudut pandang hukum, bukan atas pertimbagan etis, sosiologis ataupun politik.

 


[1]Sekarang sedang mengikuti program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNPAD

[2]W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum oleh Muhammad Arifin, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, Susunan I, hlm.47

[3]Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1973, hlm.12

[4]W.Friedmann, Op.cit.,hlm.47

[5] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kansius, Yogyakarta, 1986, hlm.29

.    [6]Ibid

[7]W. Friedmann, Op.cit.,hlm.52-53

[8] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.32

[9]Ibid.

[10] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.54

[11]Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.33

[12]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.264

[13]Ibid.,hlm.264-265

[14] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.62

[15] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007,  hlm.105

[16]Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.52

[17] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.60

[18] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Loc.cit.

[19] Theo Huijbert, Loc.cit.

[20]Ibid.,hlm.60-61

[21]Ibid.,hlm.62

[22]Ibid

[23] Ibid.,hlm.65-66

[24]Ibid.

[25] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.79

[26] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.81

[27]Ibid.,hlm.82

[28]Ibid.,hlm.83-84.

[29]Montesquieu, The Spirits of Law, diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 90-91

[30]Ibid

[31]Ibid.,hlm.91-92

[32]John Gilisen dan Frits Gorle, Historische Inleiding tot het Recht, di sadur oleh Freddy Tengker dengan terjemahan Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.119

[33]Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.87

[34] Ibid.,hlm.89

[35]Ibid.,hlm.99-100

[36]Hans Kelsen, General Theory…,Op.cit.,hlm.45-46

[37]Ibid

[38] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Op.cit.,hlm.55-56

[39]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm 2

[40]Ibid

[41]Ibid, hlm 3

[42] Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hlm.261

[43]Ibid.,hlm.261-262

[44] Menurut Jeremmy Bentham, hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi orang yang satu mungkin merugikan orang lain, maka hukum harus bertujuan menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya (the greatest happiness for the greatest number). Kepastian oleh karena hukum (zekerheid door het recht) bagi individu adalah tujuan utama dari hukum (E. Utrecht, 1989:12 dan Lili Rasjidi, 2007:61). Sehingga ajaran Bentham ini biasanya disebut individual utilitarianism)

[45]Menurut von Jhering (ajarannya dikenal sebagai social utilitarianism), apa yang dianggap berguna bagi bangsa diterima sebagai hukum. Hukum mengalir dari kekuasaan negara. Bahkan negara merupakan satu-satunya sumber hukum (Theo Huijbers, 1986:130-132 dan 134).

[46] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm. 128-129

[47] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar  Filsafat Hukum…, Op.cit.,hlm. 56

[48]Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 80-81

[49] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.149

[50] Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.31

[51] W. Friedmann, Op.cit.,hlm. 150

[52] Soekanto, Loc.cit.

[53]Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar  Filsafat Hukum…, Op.cit.,hlm.57

[54]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.31

[55]Ibid.,hlm.31-32

[56]Soekanto, Loc.cit.

[57] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat…Op.cit.,hlm.58-59 (lihat juga Lili Rasjidi dalam Dasar-Dasar Filsafat Hukum. hlm 57-58)

[58] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.157

[59] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.170

[60]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.162

[61]Ibid.,hlm. 111

[62]Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hlm.272

[63]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.13

[64]Ibid.,hlm.5-6

[65]Ibid.,hlm.14

[66] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Op.cit.,hlm.61

[67]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.112

[68]Ibid.,hlm.113

[69]Ibid.,hlm.114

[70]Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hlm.274

[71]Ibid.,hlm.274-275

[72]W. Friedmann, Op.cit.,hlm.176

[73] Satjipto Rahardjo, Loc.cit.

[74]Hans Kelsen, Op.cit.,hl.124

[75]Ibid.

[76]Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPRS XX/1966 dari yang paling tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU/Perpu; 4) PP; 5) Keppres; dan 6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang lebih rendah yaitu Peraturan Menteri, Instruksi Menteri.

[77]Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPR III/2000 dari yang paling tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU; 4) Perpu; 5) PP; 6) Keppres; dan 7) Peraturan Daerah.

[78] Urutan peraturan perundan-undangan menurut UU No. 10/2004 dari yang paling tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945;  2) UU/Perpu; 4) PP; 5) Peraturan Presiden; 6) Peraturan Daerah, yang digolongkan atas Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa.

[79] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Loc.cit.

[80] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.50

[81] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Loc.cit.

 

Ajaran Pemisahan Kekuasaan, Perkembagan dan

Implementasinya di Indonesia

Oleh: Edra Satmaidi[1]

  1. A. Latar Belakang

Negara modern menurut Logeman[2] adalah suatu organisasi otoritas yang sasaran kegiatannya ialah dengan otoritasnya mengatur – dan dengan demikian penguasaan – suatu masyarakat yang ada sebagai keseluruhan… Dari rumusan yang dibuat oleh Logeman ini dapat kita katakan bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan. Dengan kekuasaan yang ada pada negara, negara dapat berusaha mencaplok seluruh kehidupan sosial…[3]

Kekuasaan negara menetapkan, melaksanakan dan menegakkan kepatuhan terhadap hukum, apalagi dalam negara kesejahteraan (welfare state), dimana negara berhak ikut campur hampir diseluruh bidang kehidupan rakyat, sehingga penggunaan kekuasaan negara itu mempunyai potensi melanggar hak-hak rakyat yang ada dalam negara tersebut, bahkan hak-hak rakyat yang paling mendasar-pun (HAM) dapat dilanggar. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, demikian adegium yang dikemukakan oleh Lord Acton. Dengan demikian, moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat, ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Betapun baiknya seseorang, yang namanya kekuasaan tetaplah harus diatur dan dibatasi…[4]

Pada Abad Pertengahan (abad ke-14 sampai abad ke-15) negara-negara di Eropa Barat belum mengenal apa yang sekarang dimaksud dengan pembagian kekuasaan pada negara-negara modern. Pada waktu itu kekuasaan negara disentralisir dalam tangan raja kemudian ditangan birokrasi kerajaan. Jadi raja adalah sebagai pembuat undang-undang, pelaksanaa udang-undang dan hakim yang mengadili sengketa.[5] Kekuasaan negara yang terpusat pada tangan raja telah melahirkan sistem pemerintahan monarki absolut, dimana raja tidak pernah salah (the king can do no wrong), walaupun pada kenyataannya melanggar hak-hak asasi rakyat.

Pada abad RENAISSANCE atau abad AUFKLARUNG atau abad perubahan (permulaan abad ke-17) timbul aliran-aliran yang mengemukakan bahwa sistem pemerintahan yang sentralistis yang kurang dapat menjamin kemerdekaan individu harus diubah dengan sistem pemerintahan yang dapat menjamin lebih banyak kebebasan-kebebasan individu dan hak-hak azasi manusia.[6] Jalan yang ditempuh untuk itu adalah menghapuskan sistem pemerintahan yang absolut dan menggantinya dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Sistem pemerintahan demokratis, pada abad renaissance ini menekankan pada dua hal. Pertama, kekuasaan negara harus dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh organ lain disamping raja. Kedua, pelaksanaan kekuasaan negara menghormati hak asasi manusia.

John Locke dianggap sebagai peletak dasar teori pembagian kekuasaan negara. Pikiran-pikiran tentang pembagian kekuasaan negara dituangkan oleh Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”. Kemudian diikuti oleh Montesquieu, yang menekankan pada pemisahan kekuasaan negara. Ajaran Montesquieu yang tertuang dalam bukunya ”L’Esprit des Lois” (The Spirit of Laws), kemudian terkenal dengan teori trias politika.

Dalam praktek penyelenggaraan negara, teori trias politika sangat sulit untuk diterapkan secara konsisten. Amerika Serikat yang dianggap konsisten menerapkan ajaran Montesquieu ini, namun tetap tidak dapat melaksanakannya secara murni.

Kesukaran-kesukaran dalam menerapkan ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) secara murni dan konsekuen, memunculkan ajaran pembagian atau pemencaran kekuasaan (division or distribution of powers). Tidak bisa dipungkiri dalam praktek penyelenggaraan negara selalu terdapat hubungan kekuasaan (hubungan fungsi) antara organ negara yang satu dengan organ negara yang lainnya. Akibatnya satu organ dapat memiliki beberapa fungsi kekuasaan negara. Di Amerika Serikat sendiri ajaran Montesquieu ini dipertahankan dengan mengkombinasikan dengan sistem  saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances system) antar cabang kekuasaan negara. Disamping itu, muncul pula ajaran-ajaran baru mengenai pembagian kekuasaan negara, yaitu di praja, dan catur praja.

Ajaran pembagian kekuasaan negara semakin mendapatkan tempat dalam praktek penyelenggaraan negara, dengan berbagai variasi dan dinamika yang menyertainya. Dalam teori konstitusi, pengaturan tentang organ-organ negara dan fungsi-fungsi (kekuasaan) diantara organ-organ itu menjadi salah satu materi muatan konstitusi.[7]

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana penerapan ajaran pemisahan atau pembagian kekuasaan di Indonesia? Dan bagaimana pula pengaturannya dalam UUD 1945?

B. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Negara

Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya.[8] Sedangkan pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-dibagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkingkan adanya kerjasama.[9]

Teori pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran trias politika Montesquieu. Dalam bukunya ”The Spirit of Laws” Montesquieu memberikan potret atas pemerintahan Inggris. Montesquieu menyimpulkan bahwa kebebasan bangsa Inggris bersandar pada dua dukungan utama: ’pemisahan mendasar kekuasaan eksekutif , legislatif dan yudisial, dan perpaduan antara monarki, aristokrasi dan demokrasi pada Raja, Bangsawan dan Orang Banyak.[10]

Ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu di ilhami oleh pandangan John Locke dalam bukunya ”Two Treaties on Civil Government” dan praktek ketatanegaraan Inggris. Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan yaitu: (1) kekuasaan perundang-undangan; (2) kekuasaan melaksanakan hal sesuatu (executive) pada urusan dalam negeri, yang meliputi Pemerintahan dan Pengadilan; dan (3) kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir asing guna kepentingan negara atau kepentingan warga negara dari negara itu yang oleh Locke dinamakan federative power…[11]

Montesquieu membuat analisis atas pemerintahan Inggris yaitu: (1) ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang yang sama, atau pada lembaga tinggi yang sama, maka tidak ada kebebasan; (2) tidak akan ada kebebasan, jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif; (3) dan pada akhirnya akan menjadi hal yang sangat menyedihkan bila orang yang sama atau lembaga yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu menetapkan hukum, menjalankan keputusan-keputusan publik dan mengadili kejahatan atau perselisihan para individu.[12] Kondisi ini menyebabkan raja atau badan legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya dengan cara yang tiran.[13] Namun menurut Montesquieu bila mana kekuasaan eksekutif dan legislatif digabungkan, maka kita masih memiliki pemerintahan yang moderat, asalkan sekurang-kurangya kekuasaan kehakiman dipisah.[14]

Ada perbedaan mendasar antara Locke dan Montesquieu dalam melihat kekuasaan kehakiman atau pengadilan. Bagi Locke, kehakiman/pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan oleh Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai pelaksanaan undang-undang.[15] Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan dua-duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari, sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak.[16]

Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.[17]

Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut van Vollenhoven tidak hanya melaksanakan undang-undang saja tugasnya, karena dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili (menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling).[18]

Sedangkan Donner dan Goodnow mempunyai pandangan yang hampir sama dalam melihat pembagian kekuasaan negara. Menurut Donner, semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penguasa hanya meliputi dua bidang saja yang berbeda, yaitu; (i) bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan dilakukan; (ii) bidang yang menentukan perwujudan atau pelaksanaan dari tujuan atau tugas yang ditetapkan itu.[19] Sementara Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa di istilahkan dengan di praja, yaitu (i) policy making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan).[20] Namun pandangan yang paling berpengaruh didunia mengenai soal ini adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif dan yudisial.

Walaupun ajaran trias politika Montesquieu ini paling berpengaruh dalam penyusunan konstitusi dan didalam praktek ketatanegaraan di dunia, namun pelaksanaannya secara murni mendapatkan keberatan. Alasannya adalah sebagai berikut:

(i)                 Pemisahan mutlak akan mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan di bawah pengawasan suatu badan kenegaraan lainnya. Tidak adanya pengawasan ini berarti adanya badan kenegaraan untuk bertindak melampaui batas kekuasaanya dan kerjasama antara badan-badan kenegaraan itu menjadi sulit;

(ii)               Karena ketiga fungsi tersebut masing-masing hanya boleh diserahkan kepada satu badan kenegaraan tertentu saja atau dengan perkataan lain  tidak mungkin diterima sebagai azas tetap bahwa tiap-tiap badan kenegaraan itu hanya dapat diserahi satu fungsi tertentu saja, maka hal ini akan menyukarkan pembentukan suatu negara hukum modern (modern rechstaat) dimana badan kenegaraan yang diserahi fungsi lebih dari macam dan kemungkinan untuk mengkoordinasi beberapa fungsi.[21]

Negara yang konsekuen melaksanakan teori Montesquieu ini adalah Amerika Serikat, tetapi inipun tidak murni, karena antara ketiga badan kenegaraan yang masing-masing mempunyai pekerjaan sendiri-sendiri itu, dalam menyelesaikan sesuatu pekerjaan tertentu diawasi oleh badan kenegaraan lainnya. Sistem ini dikenal dengan sebagai sistem ”check and balance” atau ”sistem pengawasan”[22]

Menurut Bachsan Mustafa,[23] tujuan dari sistem check and balances ini adalah: (i) untuk menghindarkan kemungkinan adanya salah satu dari ketiga badan kenegaraan itu akan bertindak melampaui batas kekuasaannya sehingga merupakan tindakan yang sewenang-wenang; (ii) agar ketiga fungsi tersebut menjadi seimbang dalam tiap-tiap keadaan tertentu, sehingga perlu diadakan pengawasan tertentu pula. Jadi sistem check and balances itu bersifat kasuistis.

Pada dasarnya Montesquieu tidak mengusulkan bentuk pemisahan yang bersifat kaku dan mutlak, dan ia menguraikan sejumlah contoh dimana kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif saling bertumpang tindih. Pada hakikatnya kekuasaan raja untuk memveto adalah termasuk dalam cabang legislatif, dan hak parlemen untuk menyelidiki bagaimana hukum dilaksanakan dan hak untuk meminta pertanggungjawaban para menteri raja menyebabkan tumpang tindih dengan kekuasaan eksekutif. Lebih jauh lagi, Majelis Tinggi para bangsawan berfungsi sebagai sebuah sidang pengadilan dalam dengar pendapat pertanggungjawaban itu, mengadili salah satu anggota mereka sendiri yang dituduh atas kejahatan tertentu, atau memperlunak suatu hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan rendah.[24]

C. Pemisahan ataukah Pembagian Kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 ?

Untuk menilai apakah UUD 1945 menganut pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan, kita dapat menggunakan kriteria yang dibuat oleh Ivor Jenning. Jennings dalam bukunya ”The Law and the Constitution” membuat suatu kriteria untuk menilai apakah suatu UUD menganut teori pemisahan atau pembagian kekuasaan. Jenning mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (separation of powers) dapat dilihat dari sudut materil dan formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materil berarti bahwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebaliknya apabila pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, maka disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formil.[25]

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,[26] pemisahan kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan pembagian kekuasaan. Jimly Assiddiqie,[27] berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Berdasarkan kriteria yang dibuat Jenning, Kusnardi dan Harmaily[28] berkesimpulan bahwa UUD 1945 (sebelum amandemen: pen) tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan karena:

  1. UUD 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
  2. UUD 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan dilakukan oleh tiga organ/badan saja.
  3. UUD 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan oleh MPR (Pasal 1 ayat 2), kepada lembaga negara lainnya.

Demikian juga Jimly,[29] yang menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen: pen), UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.

Dalam perpspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam UUD 1945 yang asli (UUD 1945 sebelum amandemen: pen) tidak diatur pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif. Dalam sistem yang lama, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya.[30] Hal ini dapat dilihat dari ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen. Presiden disamping memegang kekuasaan pemerintahan (kepala eksekutif, Pasal 4 ayat 1), juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan pemerintah (kekuasaan legislatif, Pasal 5), sementara fungsi DPR dalam membentuk undang-undang bersifat pasif yaitu sebatas memberikan persetujuan (Pasal 20). Presiden juga memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (kekuasaan yudikatif, Pasal 14). Demikian juga kekuasaan Presiden yang lain mendapatkan porsi pengaturan yang lebih besar dalam UUD 1945, dibandingkan dengan kekuasaan lembaga negara tinggi lainnya. Kekuasaan Presiden yang besar, menjadi tidak terimbangi oleh kekuasaan lembaga negara tinggi lainnya, karena sebagian besar kekuasaannya tidak dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya (Presiden dianggap mempunyai hak prerogatif /hak istimewa).  MPR (lembaga legislatif) sebagai pemegang tunggal kedaulatan rakyat memilih Presiden (Pasal 6) dan dapat memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 8), apabila dalam pengawasan DPR dianggap sungguh-sungguh telah melanggar UUD dan GBHN (penjelasan UUD 1945). GBHN yang dituangkan dalam TAP MPR merupakan program kerja yang dimandatkan kepada Presiden. Penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah ”mandataris” dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Dalam sistem pemerintahan presidensil di Amerika Serikat, program kerja pemerintah disusun sendiri oleh Presiden dan sama sekali tidak perlu dimintakan persetujuannya dari kongres. Demikian juga pada pemerintahan parlementer, program kerja disusun sendiri oleh pemerintah, dan sebelum dilaksanakan dimintakan dulu pengesahannya dari parlemen.[31]

Setelah UUD 1945 diamandemen, terjadi perubahan mendasar bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan oleh banyak lembaga negara menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Hal ini berarti bahwa tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara mendapat atribusi langsung dari UUD 1945 sebagai manifestasi kehendak rakyat.  Akibatnya terjadi perubahan struktur dan mekanisme kelembagaan negara, dimana MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK dan Badan Pemerikasa Keuangan  berkedudukan sebagai lembaga negara tinggi.  Hal ini berarti telah terjadi pergeseran prinsip dari pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal menjadi pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal.

Materi perubahan pada Perubahan Keempat UUD 1945 telah mereposisi kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara. Penguatan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan sistem pemerintahan presidensil telah menimbulkan pergeseran kekuasaan diantara eksekutif dan legislatif, serta menempatkan lembaga yudisial sebagai penegak supremasi hukum.

Dilihat dari ketentuan UUD 1945 amandemen, terdapat berbagai perubahan ketentuan ketatanegaraan yang bersifat mendasar. Pertama, tidak dikenal lagi lembaga negara tertinggi. Kedudukan diantara lembaga negara adalah sederajat, dan semuanya merupakan lembaga negara tinggi. Konsekuensinya adalah MPR tidak lagi mempunyai kewenangan menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden, melainkan Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 3 dan Pasal 6A ayat 1). Demikian juga Presiden dan atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan oleh lembaga legislatif (MPR/DPR) melalui suatu keputusan politik belaka, melainkan harus diputuskan terlebih dahulu secara hukum oleh lembaga penegak hukum konstitusi (MK) (Pasal 7B). Begitu pula DPR (yang seluruh anggotanya dipilih langsung oleh rakyat) tidak dapat dibubarkan/dibekukan oleh Presiden (Pasal 7C).  Dan tidak kalah pentingnya penegasan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24).

Kedua, mempertegas original power masing-masing lembaga negara. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat 1), kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 20A yang tidak hanya mempunyai fungsi legislasi, tetapi juga fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4) dan MA dan MK menjalankan kekuasaan kehakiman (Pasal 24). Sementara lembaga negara lainnya juga ditetapkan kewenangannya, baik kewenangannya berkaitan dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif (pengawasan penggunaan keuanganan negara oleh BPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 23E), maupun salah satu diantaranya (misalnya KY yang berhubungan dengan MA dalam pengisian hakim agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24B).

Ketiga, diaturnya hubungan antara lembaga-lembaga negara, sehingga kerjasama antara lembaga negara dalam menjalankan amanat rakyat dapat dilakukan dengan baik dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang bersangkutan. Dalam UUD 1945 amandemen cukup banyak diatur hubungan ini, yaitu: (i)  dalam bidang legislasi Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR (Pasal 5 ayat 1), dan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 20 ayat 2); (ii) hubungan DPR, MK dan MPR dalam proses pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B); (iii) hubungan antara Presiden dan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional, menyatakan perang dan damai (Pasal 11), pengangkatan pejabat negara, seperti dalam pengangakatan duta dan penempatan duta negara lain (Pasal 13), dan pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 14 ayat 2); (iv) hubungan antara Presiden dan MA hanya sebatas memberikan pertimbangan dalam pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden (Pasal 14).

D. Penutup      

Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan dalam tulisan ini, yaitu:

  1. Dalam setiap negara modern, yang menjunjung prinsip kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia pemisahan/ pembagian kekuasaan harus diatur secara tegas dalam UUD atau konstitusinya, agar tidak terjadi penyalangunaan kekuasaan dan terkonsentrasinya kekuasaan pada satu tangan/ organ yang dapat melahirkan tirani.
  2. UUD 1945 sebelum amandemen telah mengakomodir ajaran Trias Politica, namun tidak melaksanakan secara konsekuen, dan lebih menekankan  pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal.
  3. UUD 1945 amandemen menganut pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal, mulai mengatur mekanisme check and balances dan  memperkokoh prinsip-prinsip kedaulatan rakyat serta mempertegas sistem pemerintahan presidensil.


[1] Sekarang sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UNPAD

[2] Logeman, Over de theorie van een stellig staatsrecht, diterjemahkan oleh Makkatutu menjadi Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 95.

[3] Ibid, hlm. 97

[4] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2005, hlm. 37.

[5] Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.1

[6] Ibid.

[7] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 59

[8] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 1988, hlm. 140

[9] Ibid

[10] Montesquieu, The Spirit of Laws, Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 62.

[11] Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakjat, Jakarta Timur, 1983, hlm. 16

[12] Montesquieu, Loc.cit

[13] C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, diterjemahkan menjadi Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia oleh SPA Teamwork, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm. 330.

[14] Montesquieu,  Loc.cit.

[15] Wirjono…, Loc.cit.

[16] Ibid.

[17] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 34

[18] Kusnardi dan Harmaily…,Op.cit., hlm. 147

[19] Ibid, hlm. 145

[20] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan…, Loc.cit.

[21] Bachsan…,Op.cit, hlm. 4

[22] Ibid.

[23] Ibid

[24] Montesquieu…, Op.cit, hlm. 64.

[25] Moh. Kusnardi dan Harmaily…, Op.cit.,hlm. 143

[26] Ibid.

[27]  Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan…,Op.cit., hlm. 35

[28]  Moh. Kusnardi dan Harmaily…Ibid.,hlm. 181

[29]  Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan…,Op.cit., hlm. 35-36.

[30] Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 166.

[31] Moh. Kusnardi dan Harmaily…Op.cit.,hlm. 194-195

Oleh: edrasatmaidi2010 | November 4, 2010

HUKUM ALAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.  Latar Belakang

Membicarakan hukum alam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan hukum positif. Sebagaimana dinyatakan W. Friedmann[1] dalam bukunya legal theory ”hukum alam, dalam berbagai bentuknya, sebagai satu ungkapan untuk mencari cita-cita yang lebih tinggi dari hukum positif. Demikian juga Hans Kelsen, menyatakan adanya dualisme antara hukum alam dan hukum positif, di dalam bukunya general theory of law and state. Kelsen, menegaskan bahwa diatas hukum positif yang tidak sempurna, terdapat hukum alam yang sempurna. Hukum positif baru teruji kebenarannya bila bersesuaian dengan hukum alam (positive law is justified only insofar as it corresponds to the natural law).[2] Perubahan kondisi-kondisi sosial dan politik menyebabkan gagasan tentang hukum alam pun berubah. Satu-satunya yang masih tetap adalah tuntutan pada suatu yang lebih tinggi dari hukum positif.[3] Dalam membicarakan hukum alam dan hukum positif, pembicaraan tentang keadilan menjadi bagian yang sering dipersoalkan dalam menemukan tatanan hukum yang lebih baik untuk mengatur perbuatan manusia. Apakah hukum positif  validitasnya tergantung pada hukum alam, sehingga hukum positif harus sesuai dengan hukum alam ? Atau hukum positif dapat menyimpang dari hukum alam karena validitasnya berasal dari norma hukum (yang lebih tinggi) itu sendiri atas dasar perintah penguasa atau negara yang menciptakan norma hukum tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijawab dengan menelusuri ajaran-ajaran hukum alam dan hukum positif dari beberapa ahli hukum pada zaman kuno sampai zaman modern.    


1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas ada dua persoalan yang akan ditelusuri dalam tulisan ini, yaitu:

  1. Apa perbedaan mendasar antara hukum alam dan hukum positif ditinjau dari beberapa pendapat ahli hukum?
  2. Bagaimana perspektif tentang keadilan menurut hukum alam dan hukum positif?

 

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui:

  1. Perbedaan mendasar antara hukum alam dan hukum positif ditinjau dari beberapa pendapat ahli hukum.
  2. Perspektif tentang keadilan menurut hukum alam dan hukum positif.

 

 

 

BAB II

HUKUM ALAM

2.1. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Yunani dan Romawi

Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan semesta alam, dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Dalam filsafat kaum sofis hukum alam ditafsirkan sebagai ”hukum dari yang paling kuat”, yang sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut hukum alam disini, tidak lain daripada kekuasaan dan kekerasan.[4] Aristoteles merupakan orang yang pertama kali membedakan antara hukum alam dan hukum positif. Menurutnya, hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum ini tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam ini dibedakan dari hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.[5] Bagi kaum sofis, alam merupakan sesuatu yang bersifat eksternal, sesuatu yang berada diluar manusia. Sedangkan Aristoteles, dalam bukunya ”logika”memandang bahwa dunia sebagai totalitas yang meliputi seluruh alam. Manusia adalah bagian dari alam, diberkahi dengan akal yang aktif yang membedakannya dari semua bagian lain dari alam. Manusia hanya mampu membentuk kehendaknya sesuai dengan pengertian akalnya.[6] Tesis Aristoteles ini menjadi dasar konsepsi hukum alam para filsuf Stoa.

Aliran filsafat yang paling mempengaruhi pandangan orang Romawi mengenai hukum adalah aliran Stoa. Ide dasar Stoa ialah, bahwa semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang teratur (kosmos), berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan itu, yakni jiwa dunia (logos). Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang menjiwai segala.[7] Aliran ini berpendapat bahwa hidup bersama manusia mempunyai hubungan dengan logos yakni melalui hukum universal (lex universalis) yang terdapat dalam segala-galanya. Hukum universal itu terkandung dalam logos, dan sebagai demikian disebut hukum abadi (lex aeterna). Sejauh hukum abadi itu menjadi nyata dalam semesta alam, hukum itu disebut hukum alam (lex naturalis). Hukum alam ini tidak tergantung dari orang, selalu berlaku dan tidak dapat diubah. Hukum alam ini merupakan dasar segala hukum positif.[8] Para filsuf Stoa, membedakan antara cita-cita hukum alam yang nisbi dan absolut. Pada masa kegemilangan hukum alam, tidaklah terdapat keluarga, perbudakan, hak milik, maupun pemerintahan. Tetapi lembaga-lembaga ini menjadi penting dengan merosotnya moral umat manusia. Hukum alam ”nisbi” menuntut dari pembentuk perundang-undangan, adanya undang-undang yang dituntun oleh akal, dan sedekat mungkin pada hukum alam mutlak.[9] Sasaran tertinggi manusia ialah menjadi manusia yang adil, dengan tunduk kepada hukum alam (nomos) sebagai pernyataan Budi Ilahi (logos). Undang-undang negara ditaati karena sesuai dengan hukum alam. Bahkan pemikir-pemikir Stoa berpendapat bahwa masyarakat manusia dipertahankan dan dikembangkan karena ketaatan akan hukum alam.[10]

 

2.2. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Abad Pertengahan

St. Thomas Aquinas adalah filsuf terbesar dari aliran Scholastic di abad pertengahan. Ia menerima pengaruh dari Aristoteles tetapi menyatakannya dengan dogma agama Kristen sehingga merupakan suatu sistem pemikiran tersendiri. Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai ”peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya”. Oleh karena dunia ini diatur oleh tatanan Ketuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membedakan empat macam hukum, yaitu: lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana.[11]

Lex aeterna adalah akal keilahian yang menuntun semua gerakan dan tindakan dalam alam semesta. Hanya sebagian kecil saja dari lex aeterna yang bisa ditangkap oleh manusia melalui akal pikiran yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Bagian yang bisa ditangkap ini disebut sebagai lex naturalis, yang memberikan pengarahan kepada kegiatan manusia melalui petunjuk-petunjuk umum. Petunjuk yang paling dasar adalah, bahwa yang baik harus dilakukan, sedang yang buruk dihindari. Mengenai apa yang disebut baik, Thomas Aquinas mengaitkannya kepada apa yang merupakan kecendrungan alamiah pada manusia. Pertama, adalah insting manusia yang alamiah untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin dan hasrat untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Ketiga, manusia mempunyai hasrat alamiah untuk mengenal Tuhan dan kecendrungan untuk menolak ketidaktahuan. Keempat, manusia ingin hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk menghindari perbuatan yang merugikan orang-orang yang hidup bersamanya. Sementara lex divina adalah apa yang tercantum dalam kitab-kitab suci dan lex humana apa yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian baru serta Lama.[12]

Dengan demikian hukum alam menurut Thomas Aquinas tidak lain adalah bagian dari hukum Tuhan, bagian yang diungkapkan dalam fikiran alam. Manusia sebagai makluk yang berakal, menerapkan bagian dari hukum Tuhan ini terhadap kehidupan manusia, karenanya ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hal tersebut berasal dari prinsip-prinsip hukum abadi, sebagaimana terungkap dalam hukum alam, yang merupakan sumber dari semua hukum manusia.[13]

Lebih lanjut, Thomas Aquinas membagi konsep hukum alamnya atas dua jenis sebagai berikut:

  1. Principia prima, yaitu asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak dapat diasingkan daripadanya. Oleh karena itu, principia prima tidak dapat berubah menurut tempat dan waktu.
  2. Principia secundaria, yaitu asas yang bersumber dari principia prima, sebaliknya tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktu dan tempat. Seringkali asas ini dikatakan sebagai penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap principia prima. Penafsiran ini bervariasi, dapat baik atau buruk. Suatu penafsiran dapat mengikat umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.[14]

 


2.3. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Renaissance

Pada zaman renaissance ajaran mengenai hukum alam tidak lagi didasarkan pada paham ketuhanan (scholastik), melainkan didasarkan pada rasio manusia. Pendasar daripada hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius. Ia menulis dua buku yang terkenal yaitu De Jure Belli ac Pacis (tentang hukum damai dan perang) dan Mare Liberium (tentang hukum laut bebas). Grotius dipandang sebagai peletak dasar hukum internasional dengan menyebutnya sebagai hukum bangsa-bangsa (ius gentium). Ius gentium ini menurut Grotius merupakan hukum alam yang dipraktekkan oleh segala bangsa.

Menurut Grotius, hukum alam itu bersumber dari rasio manusia, yaitu merupakan pencetusan dari pikiran manusia apakah sesuatu tingkah laku manusia itu dipandang baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu dapat diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab penilaian terhadap tingkah laku manusia itu satu dengan lainnya harus didasarkan atas kesusilaan alam tersebut.[15] Hukum alam yang didapati manusia berkat kegiatan rasionalnya dipandang oleh Grotius sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif. Dalam hal ini Grotius menurut tradisi Skolastik. Namun ia menyimpang dari pandangan Skolastik dengan memastikan, bahwa hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. sebabnya ialah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain fihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta semesta alam. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pondamen hukum alam.[16] Dengan demikian Grotius juga mengakui bahwa disamping hukum alam yang bersumber pada rasio manusia, ada hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan, misalnya yang terdapat dalam Kitab Suci. Terhadap hal ini Apeldoorn melihat bahwa Grotius tidak konsekuen dengan pendapatnya. Dalam ”De Jure Belli ac Pacis”, Grotius mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi hukum alampun secara tidak langsung merupakan ciptaan Tuhan juga.[17]

Grotius mengemukakan prinsip rasional pertama dalam bidang hukum ialah setiap orang mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama orang lain secara damai. Kecendrungan ini ada pada manusia lepas dari kemauannya. Oleh karena itu kecendrungan ini dapat menjadi dasar yang objektif seluruh hukum.[18] Sehubungan dengan prinsip ini Grotius mengemukakan empat prinsip yang merupakan tiang dari seluruh sistem hukum alam yaitu: a) prinsip kupunya dan kaupunya. Milik orang lain harus dijaga. Jika barang-barang yang dipinjam membawa untung, untung itu harus diganjar; b) prinsip kesetiaan pada janji; c) prinsip ganti rugi, yakni kalau kerugian itu disebabkan karena kesalahan orang lain; dan d) prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum lain. Keempat prinsip ini ditemukan secara a priori sebagai prinsip segala hukum. Akan tetapi prinsip itu dapat juga ditemukan secara aposteriori, yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang beradab.[19]

Selanjutnya Grotius membagi hukum alam dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit adalah hukum yang sesungguhnya oleh karena menciptakan hak untuk menuntut, supaya diberikan apa yang termasuk padanya (facultas). Keadilan yang berlaku dalam bidang ini ialah keadilan yang melunasinya (penulis: keadilan komutatif). Sementara hukum alam dalam arti luas ialah hukum yang tidak menciptakan hak yuridis, melainkan hanya suatu hak berupa kepantasan (aptitudo). Keadilan yang berlaku dibidang ini ialah keadilan yang memberikan (penulis: keadilan distributif).[20]

Mengenai hubungan hukum alam dan hukum positif Grotius berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam negara sebab disetujui dan disahkan oleh yang berwibawa. Hukum ini (positif) tidak boleh melawan hukum alam, yakni tidak boleh menyuruh sesuatu yang terlarang oleh hukum alam. Tetapi hukum alam sebagai batas hukum positif boleh dilewati, jika dituntut oleh kepentingan umum negara.[21]

Berlawanan dengan Grotius, Thomas Hobbes tidak menerima adanya kecendrungan untuk hidup bersama pada manusia. Menurut Hobbes manusia sejak zaman purbakala seluruhnya dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Oleh karena dalam situasi asli belum terdapat norma-norma hidup bersama, maka orang primitif mempunyai hak atas semuanya. Maka timbullah apa yang disebut Hobbes bellum omnium contra omnes, manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Lama kelamaan orang mulai sadar akan keuntungan untuk mengamankan hidupnya dengan menciptakan suatu aturan hidup bersama bagi semua orang yang termasuk kelompok yang sama. Untuk mencapai aturan semacam itu semua orang harus menyerahkan hak-hak asli mereka atas segala-galanya dan harus menuruti beberapa kecendrungan alamiah yang oleh Hobbes disebut hukum alam (leges naturales). Hukum-hukum alam ini bukan hukum dalam arti yang sesungguhnya, tetapi hanya merupakan petunjuk yang harus diikuti jika tujuan hendak dicapai, seperti petunjuk carilah damai, serahkanlah hak aslimu, berlakulah terhadap orang lain sebagaimana kau ingin orang lain berlaku terhadapmu, dan tepatilah janji-janjimu.[22] Pentingnya prinsip bahwa janji harus ditepati paling menyolok dalam suatu persetujuan yang oleh Hobbes disebut kontrak asli, yaitu persetujuan orang-orang dalam suatu kelompok untuk membentuk suatu hidup bersama dan teratur. Persetujuan sosial yang asli inilah menjadi asal mula dari negara.[23]

 

2.4. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Pencerahan

John Locke, seperti halnya Hobbes juga menerangkan timbul  negara dan hukum dengan melukiskan situasi pada zaman primitif. Namun Locke merupakan penentang teori absolutisme dari Hobbes, dengan mengemukakan teori tentang hak-hak individu yang tidak bisa dicabut.[24] Pada zaman primitif itu orang-orang hidup menurut hukum-hukum alam. Hukum-hukum alam meliputi macam-macam bidang, yakni bidang kehidupan, kesehatan, kebebasan, milik. Dalam bidang kehidupan orang-orang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan hak untuk menjadi waris. Pelanggaran hak-hak itu dapat dihukum oleh tiap-tiap individu, sebab pada zaman itu tiap-tiap orang mempunyai kekuasaan hukum alam yang eksekutif  (the executive power of the law of nature).[25] Pada suatu ketika orang-orang primitif itu beralih dari keadaan asli kepada keadaan sipil. Dengan beralihnya manusia kepada keadaan sipil hukum alam primitif tidak lenyap. Hukum itu tetap berlaku, pun pula dalam hubungan antara negara. Buktinya ialah bahwa semua kontrak hanya berlaku berdasarkan suatu prinsip hukum alam: janji harus ditepati (keeping of faith). Namun supaya negara dapat berfungsi sebagai pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara, yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi. Sejak berdirinya negara bukan orang-orang yang bertugas untuk mengawal agar hak-hak pribadi dipertahankan, melainkan negara dan tata hukum. Sehingga tujuan negara tidak lain daripada menjamin hak-hak pribadi orang-orang. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk mencabut hak-hak alam dari pribadi manusia.[26]

John Locke menyebutkan ada tiga kekuasaan negara yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan yang tertinggi adalah kekuasaan legislatif. Oleh karena kekuasaan itu adalah yang tertinggi, maka dalam membentuk undang-undang pemerintah hanya harus tunduk pada hukum alam saja. Kekuasaan legislatif tidak hanya ditemukan dalam negara. Sekelompok orang dapat membuat undang-undang untuk hidup bersama mereka. Tetapi undang-undang itu baru menjadi sah sebagai hukum karena kekuasaan legislatif negara, yang mampu menentukan sanksi, kalau undang-undang itu dilanggar. Namun dilaih fihak kekuasaan legislatif pemerintah negara dibatasi, oleh karena rakyat memiliki kekuasaan yang melebihi kekuasaan legislatif. Rakyat berhak untuk merebut kembali kebebasan asli, kalau pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak melawan tujuan negara. Kekuasaan itu terikat pada hukum alam, yang tetap ada pada rakyat. Dengan demikian teori hukum alam John Locke mengandung suatu tendensi revolusioner: bilamana syarat-syarat tertentu tidak dipenuhi oleh pemerintah, revolusi diperbolehkan.[27]

Dalam bukunya De l ‘Esprit de Lois yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi the spirit of laws, Montesquieu menyatakan bahwa sebelum terdapat semua hukum ini, sudah ada hukum alam. Hukum alam ini berlaku sepenuhnya dalam keberadaan wujud kita sendiri. Untuk mendapatkan pengetahuan yang sempurna mengenai hukum ini, kita harus membayangkan manusia sebelum terbentuknya masyarakat: hukum-hukum yang berlangsung dalam keadaan itulah yang merupakan hukum alam.[28] Yang paling penting, meskipun bukan yang pertama, dari hukum alam adalah hukum yang membekas dalam pikiran kita yang telah dijadikan oleh Sang Pencipta agar kita condong kepadanya. Manusia dalam keadaan alamiah memiliki kecakapan untuk mengetahui sebelum ia mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dari belajar. Tentu saja ide-ide pertamanya sama sekali bukan ide-ide yang bersifat spekulatif; ia berpikir untuk mempertahankan kelangsungan dirinya sebelum ia menyelidi asal mula dirinya.[29]

Montesquieu mengemukakan generasi-generasi hukum alam, yang bertitik tolak pada keadaan alamiah manusia. Dalam keadaan alamiah manusia merasa tidak berdaya dan rasa lemah, rasa takut dan kekawatiran yang berlebihan, sehingga dalam kondisi itu mereka tidak mungkin menyerang satu sama lain; dengan demikian perdamaian jelas merupakan hukum alam yang pertama. Disamping adanya perasaan lemah ini manusia segera mendapati bahwa dirinya memiliki kebutuhan-kebutuhan. Dari sini satu hukum alam lainnya mendorong dirinya untuk mencari makanan. Disamping rasa takut membuat manusia menghindar satu sama lain, namun rasa takut ini juga mendorong manusia untuk hidup berkelompok. Dalam hidup berkelompok muncul ketertarikan diantara manusia dari jenis kelamin yang berbeda, dan kecendrungan alami yang mereka miliki satu sama lainnya ini merupakan hukum alam yang ketiga. Sementara hukum alam yang keempat muncul dari hasrat untuk hidup dalam masyarakat.[30]

Di dalam bukunya De l’Esprit des Lois (1748) Montesquieu seringkali menunjukkan dirinya sebagai seorang pembela hukum alam. Kendatipun demikian ia lebih meletakkan tekanan pada evolusi historis beraneka ragam tatanan hukum nasional;setiap bangsa mempunyai hukumnya masing-masing, yang terbentuk dari keadaan masa silamnya, kebiasaan-kebiasaan dan kesusilaannya, maupun oleh lingkungan alam sekitarnya (lingkungan geografis, iklim dan sebagainya). Dalam soal ini ia menyimpang dari hukum alam, dengan menyatakan bahwa hukum semua bangsa terdiri dari sejumlah aturan-aturan yang diilhami oleh Rasio dan oleh sebab itu berlaku universal dan tidak berubah-ubah yang ingin dijabarkan sesuai dengan “kodrat segala sesuatu” didunia ini.[31] Walaupun demikian Montesquieu tetap melihat adanya hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi konkrit suatu bangsa. Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku bagi manusia sebagai manusia. Tetapi bagaimana hukum alam dikonkretkan dalam bentuk negara dan hukum tergantung dari situasi historis, psikis dan kultural suatu bangsa. Maka undang-undang yang paling baik adalah undang-undang yang paling cocok dengan suatu bangsa tertentu.[32]

Berbeda dengan Hobbes, Locke dan Montesquieu, Jean Jacques Rousseau sama sekali tidak bicara mengenai suatu hukum alam pada manusia primitif. Hukum alam itu baru terdapat pada orang-orang yang sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial manusia menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun secara yuridis. Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita individualnya. Tetapi sesudah timbulnya masyarakat baru cita-cita individual itu diganti oleh cita-cita umum, yang berasal dari kehendak baru, yakni kehendak umum (volonte generale) yang kemudian melahirkan tujuan umum yaitu kepentingan umum. Sehingga kalau dalam masyarakat tertentu dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum, sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang, maka undang-undang itu harus dianggap tidak adil.[33]

Immanuel Kant mempunyai pandangan lain mengenai hukum alam. Menurutnya hukum alam tidak lain adalah hukum sebab akibat, yang menentukan alam secara deterministis. Latar belakang pandangan Kant ini ialah perpisahan antara bidang ‘ada’ dan bidang ‘harus’, bidang akal budi teoretis dan bidang akal budi praktis. Prinsip-prinsip aturan hukum termasuk bidang akal budi praktis, dan karenanya mewajibkan secara otonom. Tetapi aturan hukum sendiri termasuk bidang akal budi teoretis, oleh karena dialami sebagai gejala alam. Dalam bidang teoretis ini tidak terdapat kewajiban. Disini hanya berlaku hukum-hukum alam. Bila hukum termasuk alam, dan dengan ini berada di luar bidang moralitas, maka dapat dimengerti pula, bahwa kekerasan dan ancaman boleh digunakan untuk menjaga aturan hukum. Dengan ditegakkannya aturan hukum secara demikian, maka dengan tidak langsung aturan moral juga ditunjang. Menurut filsafat Kant undang-undang harus dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip umum hukum, sebagaimana ditangkap oleh akal budi praktis. Peraturan-peraturan negara adalah konkretisasi dari prinsip-prinsip umum itu. Sehingga ia menegaskan bahwa hukum hanya menjadi hukum oleh karena berasal dari yang berhak untuk membentuk hukum, yakni pemerintah.[34]

 

2.5. Ajaran Hukum Alam Neo-Kantian

Beberapa penganut Kant yang dikenal dengan Neo-Kantian, seperti Hans Kelsen dan Rudolf Stammler memberikan pendapat mengenai hukum alam secara berbeda. Dalam menjelaskan peraturan hukum dan hukum alam, Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan hukum merupakan bentuk logis dari hukum alam (the rule of law is the logical form of the law of nature). Seperti halnya peraturan hukum, hukum alampun menghubungkan dua fakta satu sama lain seperti kondisi dan konsekuensi. Yang dimaksud dengan kondisi disini adalah “sebab”, konsekuesi adalah “akibat”. Bentuk dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas (the fundamental form of the law of nature is the law of causality).[35] Perbedaan antara peraturan hukum dengan hukum alam tampaknya adalah bahwa peraturan hukum menunjuk kepada manusia dan perbuatannya, sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan reaksi-reaksinya. Namun demikian, perbuatan manusia, juga bisa menjadi kajian hukum alam asalkan perbuatan manusia juga termasuk fenomena alam. Prinsip yang digunakan ilmu (hukum) alam dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah kausalitas, sementara prinsip yang digunakan ilmu hukum dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah norma-norma.[36] Berbeda dengan Kelsen,  Stammler  sampai kepada suatu pemikiran hukum alam yang bersifat tidak abadi. Hal ini disebabkan karena dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena kebutuhan manusia ini berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka akibatnya hukum alam yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia.[37]

2.6. Hukum Alam Menurut Mochtar Kusumaatmadja

 

Mochtar Kusumaatmadja[38] mengemukakan bahwa hukum bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat, bukan hukum dalam arti ilmu pasti dan alam yang objeknya benda mati. Dalam hukum positif, objek yang diaturnya sekaligus merupakan subjek (pelaku). Ini mempunyai akibat yang penting bagi metode keilmuannya dan penjelasan tentang sebab-akibat (kausalitas). Hukum positif yang menjadi objek ilmu hukum positif tidak sepasti hukum ilmu alam. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia dan masyarakat, ia tidak diatur oleh metode ke-ilmuan ilmu pasti dan alam, melainkan oleh metode ke-ilmuan humanities (humaniora).[39]

Hukum positif yang mengatur perilaku (tingkah laku) manusia yang bukan benda mati melainkan makluk hidup yang mempunyai pikiran dan kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (etika), mempunyai konsekuensi tidak saja bagi metode keilmuannya tetapi juga bagi kausalitas.[40] Dari penjelasan Mochtar Kusumaatmadja tersebut jelas dapat dilihat bahwa ia membedakan antara hukum positif dan hukum alam itu secara tajam dan yang terpenting menurutnya bagi manusia adalah hukum positif.

 

2.7. Hukum Alam Sebagai Metode dan Hukum Alam Sebagai Substansi.

Mengutip Dias, Satjipto Rahardjo[41] mengemukakan berbagai anggapan atas hukum alam, yaitu:

  1. merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
  2. suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”;
  3. suatu metoda untuk menemukan hukum  yang sempurna;
  4. isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didedusikan melalui akal; dan
  5. suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

Dari anggapan diatas, hukum alam dapat dibedakan atas hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Sebagai metoda hukum alam merumuskan dirinya pada usaha untuk menemukan metoda yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma sendiri, melainkan hanya memberi tahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik. Sementara hukum alam sebagai substansi justru berisi norma-norma. Dalam anggapan ini, orang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan-peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim dikenal sebagai hak-hak asasi manusia.[42]


BAB III

HUKUM POSITIF

Sebelum lahirnya aliran hukum positif, sudah dikenal adanya paham legisme yang mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum diluar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Paham legisme ini sudah berkembang semenjak abad pertengahan. Gerakan positivisme dalam ilmu hukum baru muncul pada abad ke-19. Pikiran-pikiran John Austin dan Hans Kelsen sangat mempengaruhi aliran positivisme hukum. Sebenarnya sebelum Austin, Jeremmy Bentham sudah  memperjuangkan adanya kodifikasi hukum Inggris yang memberikan kepastian hukum bagi hak-hak yang bersifat individual. Namun Bentham lebih sering dimasukkan kedalam Aliran Utilitarinisme[43], bersama-sama Rudolph von Jering.[44]

Dalam pandangan positivisme yuridis, hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Menurut positivisme yuridis ini pertimbangan-pertimbangan teoretis dan metafisis tidak diperbolehkan; positivisme yuridis merupakan suatu ajaran ilmiah tentang hukum.[45]

Dalam aliran positivisme hukum, dikenal adanya dua subaliran, yaitu: 1) aliran hukum positif yang analitis dari John Austin atau yang dikenal sebagai analytical jurisprudence; dan 2) aliran hukum positif yang murni, yang dipelopori dan dikembangkan oleh Hans Kelsen, yang dikenal dengan teori hukum murni (pure theory of law).


3.1. Aliran Hukum Positif yang Analitis

Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum sebagai a commond of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system .[46] Artinya peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan moral.[47] Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan, (didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk), didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.[48] Ajaran-ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persolan yang berbeda diluar bidang hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau hukum alam yang mempengaruhi warga-warga masyarakat, akan tetapi hal itu secara yuridis tidak penting bagi hukum.[49]

Oleh John Austin, hukum pertama-tama dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum Tuhan), yang tidak memiliki arti yuridis, dimana fungsinya tidak lain adalah menjadi wadah-wadah kepercayaan, dan undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia).  Kemudian hukum manusia digolongkan dalam undang-undang yang disebut sebagai hukum yang sebenarnya (hukum positif) dan undang-undang yang disebut hukum yang tidak sebenarnya. Undang-undang yang sebenarnya diadakan oleh suatu kekuasaan politk yang disebut sebagai hukum positif, sementara hukum yang tidak sebenarnya diadakan oleh orang-orang, secara pribadi. Hukum yang tidak sebenarnya ini oleh Austin disebut sebagai “moralitas positif” saja.

Hukum positif atau hukum yang disebut sebenarnya, yang masih ada, mempunyai ciri empat unsur, yakni perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.[50] Sehingga apabila hukum tidak memenuhi keempat unsur itu, maka tidak dapat disebut sebagai hukum positif, hal itu hanya dapat disebut sebagai moral positif. Keterkaitan keempat unsur hukum positif tersebut dijelaskan oleh Soerjono Soekanto,[51] sebagai berikut: hukum merupakan hasil dari perintah-perintah yang artinya adalah bahwa ada satu pihak yang  menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak dijalankan, dan penderitaan tersebut merupakan sanksi. Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan pembedaan kewajiban kepada pihak lain, hal mana terlaksana apabila yang memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Kedaulatan itu dapat dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).[52]

Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and state, mendukung pendapat Austin yang menyatakan setiap hukum atau peraturan merupakan suatu perintah. Atau lebih tepatnya hukum atau peraturan merupakan suatu spesies perintah. Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan pendapat Austin ini yaitu “perintah adalah suatu pernyataan kehendak seseorang dalam bentuk keharusan (imperatif) bahwa seseorang yang lain harus berbuat menurut suatu cara tertentu individu yang objeknya adalah perbuatan dari seorang individu lainnya. Lebih lanjut Kelsen menjelaskan bahwa seseorang individu terutama mungkin memberi bentuk imperatif kepada kehendaknya ketika dia memiliki, atau percaya diri memiliki, kekuasaan tertentu atas individu lain, ketika dia berada, atau mengira dirinya berada dalam posisi untuk mengharuskan kepatuhan. Perintah baru bisa disebut norma jika ia mengikat individu yang dituju oleh perintah itu, dan jika individu ini harus melakukan apa yang diharuskan oleh perintah tersebut, …A command is a norm only if it is binding upon the individual to whom it is directed, only if this individual ought to do what the command requires. [53]

Namun Kelsen tidak sepakat dengan Austin dengan menyatakan bahwa tidak setiap perintah yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan lebih tinggi mempunyai sifat mengikat. Kelsen mencontohkan perintah seorang bandit kepada seseorang untuk menyerahkan uangnya tidaklah mengikat, walaupun dalam kenyataannya bandit tersebut mampu untuk memaksakan kehendaknya. Suatu perintah  mengikat, bukan disebabkan individu yang memerintah mempunyai kekuasaan nyata yang lebih tinggi, tetapi perintah itu mengikat oleh karena individu tersebut diberi wewenang atau diberi kekuasaan untuk mengeluarkan perintah-perintah yang bersifat mengikat. Individu hanya berwenang atau berkuasa jika suatu tatanan normatif, yang dianggap mengikat, memberikan kapasitas ini kepadanya, yakni memberikan kompetensi untuk menerbitkan perintah-perintah yang mengikat.  Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen[54], …A command is binding, not because the individual commanding has an actual superiority in power, but because he is “authorized” or “empowered” to issue commands of a binding nature. And he is “authorized” or “empowered” only if a normative order, wich is presupposed to be binding, confers on him this capacity, the competence to issue binding commands.

Penekanan pada perintah dan sanksi ditentang oleh teori-teori yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari kekuasaan dan perintah, terutama oleh mazhab sejarah dari Von Savigny dan sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich. Soejono Soekanto[55] sebagai salah seorang penganut aliran hukum sosiologis, mengemukakan kelemahan dari ajaran analytical jurisprudence dari Austin dengan menyatakan bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya bersifat tertutup. Sistem yang tertutup secara mutlak akan menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah hukum terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, perubahan-perubahan mana disebabkan oleh timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru (yang kemudian menghasilkan kepentingan-kepentingan baru). Lagi pula suatu sistem hukum tak akan mungkin hidup lama apabila tidak mendapat dukungan sosial yang luas.

Pada abad ke-20 pikiran-pikiran Austin tentang hukum dikembangkan lebih lanjut oleh H.L.A. Hart yang tertuang dalam bukunya the concept of law. Hart menguraikan tentang ciri-ciri pengertian positivisme pada ilmu hukum dewasan ini sebagai berikut:

–          Hukum merupakan perintah dari manusia (commond of human being);

–          Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum disatu pihak dengan moral dipihak lain, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya;

–          Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis (mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum) maupun sosiologis (mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya), dan harus dibedakan pula dari penilaian yang bersifat kritis (baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya).

–          Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, dan didalamnya keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.

–          Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan (pengujian).[56]

 

3.2. Teori Hukum Murni (pure theory of law) dari Hans Kelsen

 

Pikiran-pikiran Hans Kelsen mengenai hukum dapat dikelompokkan atas empat hal, yaitu: 1) ilmu hukum adalah ilmu normatif; 2) teori hukum murni (pure theory of law); 3) norma dasar (basic norm atau grundnorm), dan 4) teori konretisasi hukum (Stufentheory). Penjelasan mengenai keempat hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini.

 

3.2.1. Ilmu hukum adalah ilmu normatif

 

Dari uraian Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state terlihat bahwa ia menekankan segi normatif dari hukum dari berbagai pembahasannya. Kelsen berusaha mencari suatu pengertian hukum yang murni. Untuk itu menurutnya hukum perlu diselidiki sebagai hukum terlepas dari pandangan-pandangan diluar hukum seperti psikologis, sosiologis, etika, politik, sejarah dan lain sebagainya. Menurut Kelsen hukum berada dalam dunia sollen ”keharusan” bukan dalam dunia sein “kenyataan”.  Bila hal ini terjadi, maka seharusnya hal itu terjadi pula. Nyatalah dalam rumusan prinsip ini bahwa relasi antara hal ini dan hal itu bersifat normatif. Artinya kalau hal ini terjadi belum tentu hal itu terjadi pula, tetapi seharusnya hal itu terjadi.

Bila dikaitkan dengan bidang hukum maka suatu kelakuan yang melawan hukum, harusnya disusul dengan hukuman, sekalipun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Oleh sebab sanksi yang dikenakan pada seseorang yang melanggar hukum tergantung dari penentuan oleh instansi-instansi negara, maka norma hukum, yang disusun untuk masyarakat umum, pertama-pertama harus dipandang sebagai imperatif bagi negara. Dari norma hukum sebagai imperatif bagi negara semua kewajiban individual dapat diturunkan.[57] Tegasnya ilmu pengetahuan hukum adalah suatu hirarki mengenai hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat, seperti ilmu alam. Oleh karena itu objek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat diketahui secara teoritis tentang tiap jenis hukum pada tiap waktu dan dalam tiap keadaan.[58] Kelsen menyebutnya sebagai teori yuristik (juristic theory) yang bisa juga disebut sebagai teori normatif (normative theory).

Teori yuristik menunjukkan hukum sebagai sistem norma yang valid. Objeknya adalah norma (norma umum maupun norma khusus). Teori yuristik hanya mempertimbangkan fakta-fakta yang ditentukan oleh norma-norma dengan satu cara atau cara lain. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang digunakan oleh teori ini dalam mendeskripsikan objeknya bukanlah pernyataan tentang kenyataan melainkan tentang keharusan.[59]. Dasar validitas suatu norma selalu berupa norma, bukan fakta (the reason for the validity of a norm is always a norm, not a fact). Pencarian landasan validitas suatu norma menuntun kita bukan kepada realitas melainkan kepada norma lain yang menjadi sumber lahirnya norma tersebut. Norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi, kita sebut sebagai “norma dasar” (penulis: basic norm atau grundnorm). Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma.[60] Sehingga dapat disimpulkan bahwa tatanan hukum adalah tidak lain merupakan suatu sistem norma.

 

3.2.2. Teori hukum murni

 

Teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan, “apakah hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah hukum yang seharusnya?”[61] Tatanan hukum positif merupakan hukum sebagaimana adanya, tanpa mempertahankannya dengan menyebutnya adil, atau menghujatnya dengan menyebutnya tidak adil. Tatanan hukum positif berusaha menghadirkan hukum yang nyata dan mungkin, bukan hukum yang benar.[62] Oleh karena itu, menurut Kelsen pembicaraan mengenai keadilan harus dikeluarkan dari ilmu hukum, sebab hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda.

Kecendrungan untuk menyamakan hukum dan keadilan merupakan kecendrungan untuk membenarkan tatanan sosial tertentu. Ini suatu kecendrungan politik, bukan kecendrungan ilmiah. Teori hukum murni sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan adil atau tidaknya hukum tertentu, karena pertanyaan tersebut sama sekali tidak dapat dijawab secara ilmiah.[63] Bagi Kelsen yang terpenting adalah apakah perbuatan seseorang berdasarkan atau tidak berdasarkan hukum positif. Sehingga adil atau tidak adilnya suatu perbuatan tertentu semata-mata dilihat dari sudut hukum itu sendiri, bukan berdasarkan pada pertimbangan etis, sosiologis maupun politis, tetapi menurut pertimbangan hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsen yang menyatakan: “the statement that the behavior of an individual is “just” or “unjust” in the sense of “legal” or “illegal” means that the behavior corresponds or does not correspond to a legal norm which is presupposed as valid by the judging subject because this norm belongs to a positive legal order.”[64]

Dengan alasan tersebut diatas Kelsen berpendapat hukum harus dibebaskan dari pertimbangan/penilaian non-yuridis seperti etis, sosiologis, politis, sejarah dan sebagainya. Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, dan menghindarkan diri dari penilaian baik dan buruk suatu norma hukum tertentu. Dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Ajarah hukum Hans Kelsen hanya memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein/kenyataan sosial. Hukum merupakan sollenskatagori dan bukan seinskatagori: orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara. Hukum itu tidak lain merupakan suatu kaedah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya. Yang membeli barang seharusnya membayar. Apakah dalam kenyataanya sipembeli itu membayar atau tidak, itu soal yang menyangkut kenyataan dalam masyarakat dan hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum[65], tetapi hal tersebut sudah memasuki wilayah sosiologi hukum.

 

3.2.3. Norma dasar (grundnorm/ basic norm)

 

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumya mengenai ilmu hukum sebagai ilmu normatif, norma dasar (grundnorm) merupakan pemberi keabsahan (dasar validitas) bagi setiap norma hukum yang berada dalam suatu tatanan hukum tertentu. Menurut hakikat norma dasar, dapat dibedakan dua jenis tatanan hukum (norma) atau sistem norma yang berbeda yaitu sistem norma yang statis dan sistem norma yang dinamis. Dalam sistem norma statis, norma-norma itu “valid” (sah dan berlaku) jika para individu yang perbuatannya diatur oleh norma-norma itu “harus” berbuat sesuai dengan yang ditetapkan oleh norma-norma tersebut, berdasarkan isinya, dimana isinya memiliki kualitas yang terbukti secara langsung menjamin validitasnya.[66] Sedangkan suatu norma merupakan bagian dari suatu sistem yang dinamis jika norma tersebut telah dibuat menurut suatu cara yang ditentukan oleh norma dasar.[67]

Hans Kelsen menegaskan bahwa norma dasar dari suatu tatanan hukum positif tidak lain adalah peraturan fundamental tentang pembuatan berbagai norma dari tatanan hukum positif itu. Norma dasar ini menetapkan suatu peristiwa tertentu sebagai peristiwa awal di dalam pembentukan berbagai norma hukum. Norma dasar ini merupakan titik awal dari proses pembentukan norma dan dengan demikian memiliki karakter yang sepenuhnya dinamis.[68]

Menurut Satjipto Rahardjo, [69] grundnorm sebagai suatu dalil akbar tidak hanya berfungsi sebagai dasar, tetapi juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan rejim grundnorm tersebut harus bisa mengait kepadanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum, tetapi ia selalu akan ada di situ, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak dituliskan.

Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.[70]

 

3.2.4. Teori konkretisasi hukum (stufentheory)

 

Teori konkretisasi hukum memandang sistem hukum sebagai bentuk piramid. Hukum membentang dalam proses yang bertahap, dari norma yang paling tinggi, yang paling abstrak, sampai kepada norma yang paling rendah, yang secara lengkap diindividualisasikan, konkret dan eksekutif.[71] Dengan kata lain teori ini melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkret, sampai kepada yang paling konkret. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum, lalu berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan dapat dilakukan.[72]

Teori konkretisasi hukum (stufentheory) melahirkan tata urutan norma-norma (hierarchy of norm), atau susunan norma-norma dari norma yang paling tinggi sampai norma yang paling rendah, membentuk suatu tatanan hukum tertentu. Menurut Hans Kelsen,[73] tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukkan norma yang satu (norma yang lebih rendah), ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi. Mengenai tata urutan norma-norma ini menurut Kelsen berbeda-beda dari setiap negara. Namun menurutnya dengan mempostulasikan norma dasar, konstitusi menempati urutan tertinggi didalam hukum nasional.[74]

Indonesia adalah salah negara yang menganut teori konkretisasi hukum ini. Penegasan sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam negara hukum Republik Indonesia pertama kali tertuang dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966,[75] kemudian diganti dengan TAP MPR No. III/MPR/2000[76], selanjutnya diatur dalam UU No. 10/2004[77] tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sementara posisi Pancasila diakui dan dijadikan sebagai hukum dasar nasional, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum positif Indonesia. Sehingga Pancasila merupakan grundnorm yang mengilhami, dan memberi dasar validitas  pembentukan dan pemberlakuan semua hukum positif di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai norma penutup dari urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) baik yang memberi manfaat (izin) maupun yang memberikan beban kepada masyarakat (misal pembebanan pajak, sanksi dsb) baik sebagai individu maupun sebagai badan (hukum). Konsep tata urutan (hierarkhie) peraturan perundang-undangan mengandung asas lex superior derogat legi inferiori yang berarti bahwa undang-undang yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarkhie perundang-undangan, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

 


BAB IV

PENUTUP

 

 

Sebagai penutup makalah ini, ada beberapa point penting yang dapat dikemukakan, yaitu:

  1. Hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi. Hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan dan ada yang bersumber dari rasio manusia. Hal ini yang membedakan hukum alam dengan hukum positif dimana eksistensi hukum positif tergantung dari kehendak kemauan manusia. Dengan kata lain adanya perintah dan adanya keinginan untuk mengikuti perintah itu, serta adanya sanksi dari masyarakat bila hukum itu tidak ditaati. Ketika masyarakat sudah hidup bernegara, institusi negara menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam pembentukan dan penegakkan aturan hukum melalui sanksi yang mempunyai daya paksa. Dengan demikian hukum positif dapat dirumuskan sebagai hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu dimana pembentukan dan pemberlakuannya sangat tergantung dengan kehendak penguasa atau negara.
  2. Pada zaman modern hukum alam kurang dianut orang. Kalupun ada, mereka lebih suka tidak mengatakan sebagai hukum alam, tetapi disebutnya sebagai asas-asas hukum umum[78] atau prinsip-prinsip hukum umum[79]. Beberapa asas hukum yang terkenal, misalnya datang dari Duguit dengan Solidarete Social-nya, Groundnormnya Hans Kelsen, Social Engineering dari Roscoe pound, Kulturentwicklung dari Kohler serta Regle Morale dari Ripert,. Asas-asas hukum umum ini walaupun bukan hukum alam, namun memiliki daya berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.[80] Pada saat ini hak asasi manusia, sebagai prinsip-prinsip hukum umum, wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh semua negara terhadap warga negaranya. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia juga dijadikan sebagai suatu ukuran untuk menentukan apakah suatu produk hukum itu baik atau tidak, demokratis atau tidak demokratis.
  3. Bagi aliran hukum alam, dasar validitas hukum positif  bersumber dari hukum alam. Hukum positif baru teruji keabsahannya bila sesuai dengan hukum alam.   Sementara menurut positivisme hukum, dasar validitas hukum positif bersumber dari norma hukum itu sendiri. Dasar validitas norma hukum yang satu berasal dari norma hukum lain yang lebih tinggi. Hukum positif menempatkan grundnorm sebagai dasar validitas tertinggi dari semua norma hukum.
  4. Hukum alam lebih menekankan pada usaha untuk menemukan hukum yang adil. Sementara hukum positif berupaya untuk mencapai suatu kepastian hukum. Bagi aliran hukum positif  suatu perbuatan yang menurut hukum dianggap adil, sebaliknya perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum dianggap tidak adil. Jadi disini yang ditekankan adalah keadilan menurut sudut pandang hukum, bukan atas pertimbagan etis, sosiologis ataupun politik.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

 

Friedmann, W. Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I) oleh Muhammad Arifin, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.

Gilisen, John and Gorle, Frits Historische Inleiding tot het Recht, di sadur oleh Freddy

Tengker dengan terjemahan Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika   Aditama, Bandung, 2005.

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1973.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya       Bakti, Bandung, 2001.

———————————-, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Montesquieu, The Spirits of Law, diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Nusamedia,          Bandung, 2007.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang       Lingkup Berlakunya             Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000.

Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan          Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,      Jakarta, 1997.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kansius, Yogyakarta, 1986.

Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru dan Sinar Harapan,        Jakarta, 1989.

 

 

 

 

 

 


[1]W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum oleh Muhammad Arifin, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, Susunan I, hlm.47

[2]Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1973, hlm.12

[3]W.Friedmann, Op.cit.,hlm.47

[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kansius, Yogyakarta, 1986, hlm.29

.    [5]Ibid

[6]W. Friedmann, Op.cit.,hlm.52-53

[7] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.32

[8]Ibid.

[9] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.54

[10]Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.33

[11]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.264

[12]Ibid.,hlm.264-265

[13] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.62

[14] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007,  hlm.105

[15]Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.52

[16] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.60

[17] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Loc.cit.

[18] Theo Huijbert, Loc.cit.

[19]Ibid.,hlm.60-61

[20]Ibid.,hlm.62

[21]Ibid

[22] Ibid.,hlm.65-66

[23]Ibid.

[24] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.79

[25] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.81

[26]Ibid.,hlm.82

[27]Ibid.,hlm.83-84.

[28]Montesquieu, The Spirits of Law, diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 90-91

[29]Ibid

[30]Ibid.,hlm.91-92

[31]John Gilisen dan Frits Gorle, Historische Inleiding tot het Recht, di sadur oleh Freddy Tengker dengan terjemahan Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.119

[32]Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.87

[33] Ibid.,hlm.89

[34]Ibid.,hlm.99-100

[35]Hans Kelsen, General Theory…,Op.cit.,hlm.45-46

[36]Ibid

[37] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Op.cit.,hlm.55-56

[38]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm 2

[39]Ibid

[40]Ibid, hlm 3

[41] Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hlm.261

[42]Ibid.,hlm.261-262

[43] Menurut Jeremmy Bentham, hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi orang yang satu mungkin merugikan orang lain, maka hukum harus bertujuan menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya (the greatest happiness for the greatest number). Kepastian oleh karena hukum (zekerheid door het recht) bagi individu adalah tujuan utama dari hukum (E. Utrecht, 1989:12 dan Lili Rasjidi, 2007:61). Sehingga ajaran Bentham ini biasanya disebut individual utilitarianism)

[44]Menurut von Jhering (ajarannya dikenal sebagai social utilitarianism), apa yang dianggap berguna bagi bangsa diterima sebagai hukum. Hukum mengalir dari kekuasaan negara. Bahkan negara merupakan satu-satunya sumber hukum (Theo Huijbers, 1986:130-132 dan 134).

[45] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm. 128-129

[46] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar  Filsafat Hukum…, Op.cit.,hlm. 56

[47]Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 80-81

[48] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.149

[49] Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.31

[50] W. Friedmann, Op.cit.,hlm. 150

[51] Soekanto, Loc.cit.

[52]Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar  Filsafat Hukum…, Op.cit.,hlm.57

[53]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.31

[54]Ibid.,hlm.31-32

[55]Soekanto, Loc.cit.

[56] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat…Op.cit.,hlm.58-59 (lihat juga Lili Rasjidi dalam Dasar-Dasar Filsafat Hukum. hlm 57-58)

[57] Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.157

[58] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.170

[59]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.162

[60]Ibid.,hlm. 111

[61]Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hlm.272

[62]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.13

[63]Ibid.,hlm.5-6

[64]Ibid.,hlm.14

[65] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Op.cit.,hlm.61

[66]Hans Kelsen, Op.cit.,hlm.112

[67]Ibid.,hlm.113

[68]Ibid.,hlm.114

[69]Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hlm.274

[70]Ibid.,hlm.274-275

[71]W. Friedmann, Op.cit.,hlm.176

[72] Satjipto Rahardjo, Loc.cit.

[73]Hans Kelsen, Op.cit.,hl.124

[74]Ibid.

[75]Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPRS XX/1966 dari yang paling tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU/Perpu; 4) PP; 5) Keppres; dan 6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang lebih rendah yaitu Peraturan Menteri, Instruksi Menteri.

[76]Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPR III/2000 dari yang paling tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU; 4) Perpu; 5) PP; 6) Keppres; dan 7) Peraturan Daerah.

[77] Urutan peraturan perundan-undangan menurut UU No. 10/2004 dari yang paling tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945;  2) UU/Perpu; 4) PP; 5) Peraturan Presiden; 6) Peraturan Daerah, yang digolongkan atas Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa.

[78] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Loc.cit.

[79] W. Friedmann, Op.cit.,hlm.50

[80] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Loc.cit.

 

Oleh: edrasatmaidi2010 | November 3, 2010

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Baca Selengkapnya..

Oleh: edrasatmaidi2010 | Juli 15, 2010

penyelesaian sengketa TUN melalui PTUN

Baca Selengkapnya..

Oleh: edrasatmaidi2010 | Juli 14, 2010

hukum lingkungan

Oleh: edrasatmaidi2010 | Juni 1, 2010

Keadilan

Keadilan substantif

Oleh: edrasatmaidi2010 | Mei 21, 2010

opini

Oleh: edrasatmaidi2010 | Mei 20, 2010

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Kategori