artikel

Lembaga Perwakilan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945

Oleh: Edra Satmaidi

A. Latar Belakang

Perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali telah merubah susunan dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Termasuk didalamnya menyangkut kedudukan dan mekanisme hubungan antar lembaga-lembaga negara. Perubahan ini juga berimplikasi kepada sistem perwakilan (parlemen) di Indonesia. Dihapuskannya Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang berdampingan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, serta direkdusinya kewenangan  MPR telah membawa babak baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Para ahli hukum dan politisi memberikan pendapat secara berbeda atas Pasal 2 UUD 1945 hasil perubahan ketiga. Ada yang menyatakan bahwa sistem perwakilan atau parlemen Indonesia adalah sistem  dua kamar (Bicameral System). Namun ada pula yang mengemukakan tesis baru, bahwa sistem perwakilan Indonesia adalah sistem tiga kamar (Tricameral System).

Perbedaan pandangan dan pendapat ini telah mempengaruhi praktek ketatanegaraan Indonesia dan munculnya tuntutan agar UUD 1945 dirubah kembali. Tuntutan perubahan kelima UUD 1945 dimotori oleh DPD, karena anggota DPD merasa tidak puas atas kewenangannya yang sangat terbatas dalam UUD 1945. Sementara DPR memiliki kewenangan yang sangat besar, terutama kewenangan legislasi. Kondisi seperti ini dianggap tidak sesuai dengan mandat Pasal 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPD dan anggota DPR yang sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, sehingga sama-sama mempunyai legitimasi yang kuat dari rakyat.

Dari uraian diatas penulis tertarik untuk membahas dan menuangkan dalam makalah ini perihal sistem lembaga perwakilan Indonesia pasca perubahan UUD 1945.  Tulisan ini akan mencoba untuk menggali pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur lembaga perwakilan Indonesia, dan menelusuri pendapat ahli hukum tata negara yang relevan terhadap pembahasan ini.


B. Demokrasi dan Lembaga Perwakilan Rakyat

Demokrasi adalah paham yang mengajarkan bahwa kekuasaan negara itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam sistem participatory democracy, dikembangkan pula tambahan bersama rakyat, sehingga menjadi ”kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.[1] Dengan demikian pada hakikatnya demokrasi mengandung suatu doktrin kedaulatan rakyat. Dalam arti rakyatlah pemilik kekuasaan dan rakyat adalah pemegang kekuasaan negara yang tertinggi.

Ajaran kedaulatan rakyat bila dikaitkan dengan teori perjanjian masyarakat dari Jean Jacques Rousseau, akan mendapatkan legitimasi yang kuat. Dalam bukunya Du Contract Social, Rousseau menjelaskan bahwa proses lahirnya suatu negara berawal dari keluarga-keluarga yang tidak terikat lagi oleh ikatan alamiah.. Keluarga merupakan leluhur dari semua kelompok masyarakat dan merupakan satu-satunya kelompok sosial yang paling alami. Dalam keadaan yang tidak alamiah lagi, keluarga itu dijalankan hanya atas dasar kesepakatan atau kontrak.[2] Negara yang dimaksudkan disini adalah suatu negara sipil. Melalui perjanjian (kontrak) sosial, manusia mendapatkan kebebasan sipil dan hak kepemilikan atas segala sesuatu yang dia miliki.[3] Semua hak diatur oleh hukum, ketika manusia bermasyarakat (bernegara: penulis).[4]

Dalam kehidupan negara modern, konstitusi merupakan perjanjian (kontrak) sosial baru dari masyarakat untuk membangun dan mencapai cita-cita bernegara. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari. Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik dibidang legislatif, eksekutif, maupun judikatif.[5] Bahkan lebih jauh lagi, untuk kemamfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersifat total dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.[6]

Prinsip kedaulatan rakyat itu selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.[7] Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu  biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.[8]

Sebelum mengalami perubahan, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi atau sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.[9] Akan tetapi, dalam Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas mulai dianut oleh perumus Perubahan UUD seperti tercermin dalam perubahan Pasal 5 (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampat ayat (5). Dalam paham pemisahan kekuasaan, prinsip hubungan ’checks and balances’ antara lembaga-lembaga tinggi negara, dianggap sebagai sesuatu yang sangat pokok. [10]

Dilihat dari rumusan pasal-pasal UUD 1945, secara eksplisit diketahui bahwa Indonesia menganut apa yang dinamakan inderect democracy yaitu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti MPR dan DPR.[11] Lembaga perwakilan rakyat ini lazim disebut sebagai lembaga legislatif atau parlemen. CF Strong[12], menyatakan bahwa lembaga legislatif adalah kekuasaan pemerintahan yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh hukum itu memerlukan kekuatan undang-undang (statutory force). Ia juga menegaskan bahwa negara konstitusional kontemporer harus berlandaskan pada suatu sistem perwakilan yang demokratis, yang menjamin kedaulatan rakyat.[13] Dalam demokrasi tidak langsung dikenal adanya 2 macam sistem lembaga perwakilan rakyat yaitu sistem 2 kamar (bicameral system) dan sistem 1 kamar (one cameral system)[14] atau dalam banyak literatur disebut unicameral system. Sebelum membicarakan sistem perwakilan Indonesia pasca perubahan UUD 1945, dibawah ini terlebih dahulu akan dipaparkan secara singkat kedua sistem lembaga perwakilan rakyat tersebut.

C. Sistem Unikameral dan Sistem Bikameral

Kedua sistem ini berkaitan dengan bagaimana melaksanakan demokrasi perwakilan ditinjau dari  dua model demokrasi yaitu majoritarian democracy (demokrasi mayoritas) dan concencus democracy (demokrasi konsensus). Model majoritarian menghendaki agar konsentrasi dari kekuasaan legislatif ke dalam single chamber sedangkan model konsensus digolongkan dengan suatu legislatif bikameral dengan kekuasaan yang dibagi dua secara sama atau secara berbeda yang diwujudkan dalam kamar-kamarnya.[15]

Terdapat perbedaan pendapat dalam melihat penerapan di antara kedua sistem ini, bila dihubungkan dengan struktur masyarakat. Penganut unikameralisme berpendapat bahwa sistem dua majelis tidak lagi memenuhi kebutuhan keterwakilan karena anggota-anggota kedua majelis memiliki konstituen yang sama. Sementara penganut bikameralisme menyatakan bahwa sistem dua majelis lebih mewakili banyak kepentingan yang saling tumpang tindih dari masyarakat majemuk.[16]

The Inter-Parliamentary Union dalam ikhtisarnya tahun 1986 menyebutkan bahwa dalam praktiknya, pilihan apakah suatu parlemen bersistem unikameral atau bikameral terlihat sederhana. Negara-negara federal hampir tanpa pengecualian memilih sistem bikameral dengan alasan struktur konstitusional mereka yang khas, sedangkan negara kesatuan lebih bebas untuk memilih sistem yang mereka inginkan.[17] Negara-negara yang berukuran kecil kemungkinan besar mempunyai satu kamar daripada dua kamar. Hal ini karena masalah keseimbangan kekuasaan politik lebih mudah diatasi daripada di negara besar. Di negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan, dan biaya, daripada keuntungannya.[18]

Dalam struktur parlemen tipe unikameral/ satu kamar ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat, ataupun Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.Dengan membandingkan konstitusi-konstitusi yang ada di Asia, sistem unikameral yang dianut oleh Vietnam, Singapura, Laos, Lebanon, Syiria, Kuwait dan lain-lain, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara kenegara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.[19]

Sementara pembenaran terhadap adanya dua kamar dalam parlemen karena adanya kebutuhan terhadap perwakilan. Menurut teori, satu kamar berisi anggota-anggota yang secara luas mewakili penduduk secara langsug. Sementara itu, kamar yang lainnya berdasarkan perwakilan yang berbeda, bisa untuk kepentingan kelas sosial, kepentingan ekonomi, atau perbedaan teritorial. Biasanya yang paling umum, terhadap senates (kamar kedua) secara konstitusional diberikan untuk perwakilan teritorial.[20] Keanggotaan majelis rendah/kamar pertama lebih berorientasi nasional daripada kedaerahan, sedangkan majelis tinggi lebih mencerminkan hasil pilihan yang berorientasi kepada rakyat menurut daerah pemilihannya masing-masing. Keduanya saling melengkapi satu sama lain.[21]

Perwakilan dua kamar menunjukkan bahwa dalam satu badan  perwakilan terdiri dari dua unsur yang sama-sama menjalankan segala wewenang badan perwakilan. Wadah dari dua unsur seperti Staten Generaal di Belanda, atau Parliament di Inggris tidak memiliki wewenang sendiri terpisah dari wewenang kamar-kamarnya. Wewenang Staten Generaal di jalankan oleh kamar-kamarnya yaitu Majelis Rendah (Tweede Kamer) dan Majelis Tinggi (Eerste Kamer). Wewenang Parlemen Inggris dijalankan oleh Majelis Rendah (House of Commons) dan Majelis Tinggi (House of Lords). Staten Generaal atau Parlemen Inggris tidak mempunyai anggota melainkan badan-badan perwakilan sebagai unsure (Parlemen terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah).[22] Sementara di Amerika Serikat terdapat The House of Representatives dan Senate. Keduanya disebut sebagai Congress of the United State of America. Jika sidang gabungan atau joint session diadakan, maka namanya adalah persidangan Kongres. Dalam Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa ” All legislative power vested in Congress which consist of the Senate and the House of Representatives” .[23] .

UUD Amerika Serikat, Pasal 1 ayat (8) mengatur mengenai berbagai wewenang Kongres seperti menetapkan undang-undang mengenai pajak, cukai, peminjaman uang atas nama Amerika Serikat, perdagangan antar negara bagian dan luar negeri, kewarganegaraan, menetapkan mata uang, dan lain-lain. Semua wewenang tersebut dilaksanakan (dikelola) oleh Senate dan House of Representatives. Dalam hal tertentu, diberi wewenang khusus kepada masing-masing kamar. Misalnya semua rancangan undang-undang mengenai pendapatan Negara harus diusulkan (berasal dari) house of representatives. Senate mempunyai wewenang khusus memberi pertimbangan dan persetujuan (advice and consent) mengenai perjanjian luar negeri, pengangkatan duta, konsul, menteri, hakim federal, dan pejabat-pejabat lain yang ditentukan dalam undang-undang.[24]

D. Lembaga Perwakilan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945

Salah satu gagasan perubahan UUD 1945 adalah usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada.[25]

Dalam kaitan dengan checks and balances itu pula diajukan gagasan perubahan terhadap sistem parlemen dari supremasi MPR yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan) menjadi parlemen sistem bikameral (dua kamar) yang terajut dalam hubungan checks and balances dengan lembaga negara lainnya khususnya dengan lembaga eksekutif dan yudikatif. Gagasan ini menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yakni DPR dan lembaga perwakilan teritorial yakni DPD. Semula kedua lembaga ini digagas dengan fungsi seperti parlemen yang memiliki DPR dan Senat yang mempunyai fungsi legislasi dan fungsi-fungsi parlemen lainnya seperti fungsi pengawasan dan fungsi anggaran.[26]

Perubahan UUD 1945 telah melahirkan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) yang berbeda secara komposisi, dan wewenang bila dibandingkan pada waktu berlakunya UUD 1945 sebelum perubahan. Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, karena kedaulatan rakyat langsung dipegang oleh rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Kedaulatan rakyat baik di bidang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif dilaksanakan oleh banyak lembaga negara yang sederajat, saling mengimbangi dan saling mengontrol (checks and balances). Berkaitan dengan komposisi MPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus, dan digantikan oleh suatu lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang menjadi bagian dari MPR disamping Dewan Perwakilan Rakyat.

Ada dua gagasan dibalik kelahiran DPD. Pertama, gagasan mengubah system perwakilan menjadi system dua kamar (bicameral). DPD dan DPR digambarkan serupa dengan system perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan Negara bagian (DPD), dan House of Representatives sebagai perwakilan seluruh rakyat (DPR). Di Amerika Serikat, kedua unsure perwakilan tersebut dinamakan Kongres (Congress). Kedua, gagasan untuk meningkatakan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. DPD merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem Utusan Daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 (1) UUD 1945 sebelum perubahan. Keikutsertaan daerah dalam Utusan Daerah di MPR sangat terbatas yaitu pada sidang-sidang MPR (selama orde baru, hanya dua kali dalam lima tahun).[27] Dengan sistem atau struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double- check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation).[28]

Salah satu konsekuensi gagasan dua kamar (terdiri dari DPR dan DPD), perlu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur perwakilan tersebut, seperti Congress sebagai nama badan perwakilan yang terdiri dari Senate dan House of Representatives.[29] Nama yang digagas untuk badan perwakilan dua kamar Indonesia adalah tetap menggunakan nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebagai konsekuensi penggunaan nama MPR sebagai nama sistem dua kamar, maka MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan (lingkungan kerja tetap tersendiri) yang memiliki lingkungan wewenang sendiri. Wewenang MPR (baru) melekat pada wewenang DPR dan DPD, atau seperti dalam UUD Amerika Serikat dan lain-laing negara dengan sistem dua kamar, yang ditentukan adalah wewenang Congress, Parliament, Staten Generaal yang pelaksanaannya dilakukan oleh kamar-kamar perwakilannya.[30]

Apabila dilihat ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai MPR, DPR dan DPD, tidak mencerminkan sistem dua kamar (bicameral). MPR, DPR dan DPD masing-masing mempunyai wewenang sendiri-sendiri. Sehingga MPR tetap merupakan lingkungan jabatan sendiri, karena memiliki wewenang sendiri (original power) diluar wewenang DPR dan DPD. Komposisi MPR tidak terdiri dari lembaga DPR dan DPD, melainkan terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Sehingga MPR merupakan lembaga permanen yang mempunyai anggota dan kewenangan sendiri. Demikian pula DPD bila dilihat dari kewenangannya dalam UUD 1945 seakan-akan merupakan lembaga pembantu DPR, eksistensi dan fungsinya selalu dikaitkan dan tergantung dengan lembaga DPR.

MPR: Institusi atau Forum

Dalam Pasal 2 (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Sementara kewenangan MPR dapat digaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) yaitu: 1) mengubah dan menetapkan UUD; 2) memberhentikan presiden dan/wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD; 3) memilih presiden dan/atau wakil presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD; dan 4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah/ janji jabatan presiden dan/atau Wakil Presiden.

Keempat kewenangan tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenagan DPR ataupun DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan mengenai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan (forum:penulis) antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga (institusi:penulis) tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga MPR itu merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen Indonesia. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar (trikameralisme).[31]

Tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu yang bersifat tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. MPR itu baru ada jika fungsinya memang sedang berjalan atau bekerja (in action). Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi MPR untuk diadakan pimpinan dan sekretariat yang tersendiri. UUD 1945 sama sekali tidak mengamanatkan hal ini. Artinya, jika dikehendaki, dapat saja pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dengan persetujuan Presiden dapat saja mengadakan pimpinan MPR yang bersifat tersendiri itu atau malah meniadakan dan mengatur agar pimpinan MPR itu dirangkap saja secara ex officio oleh pimpinan DPR dan pimpinan DPD. Sebenarnya, baik pimpinan MPR, pimpinan DPR, maupun pimpinan DPD sama-sama tidak diatur dalam UUD 1945.[32] Jabatan kepemimpinan MPR yang terpisah dari kepemimpinan DPR dan DPD serta adanya sekretariat jenderal MPR RI yang juga tersendiri, terlepas dari sekretariat jenderal DPR dan sekretariat jenderal DPD seperti dewasa ini, adalah semata-mata akibat pengaturannya dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.[33]

Adanya kata anggota dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, berarti-meskipun keanggotaannya dirangkap- institusi MPR itu sama sekali berbeda dan terpisah dari institusi DPR dan institusi DPD. Sebagai institusi yang terpisah, ketiganya pun mempunyai fungsi, tugas, dan kewenangan yang juga berbeda dan terpisah satu sama lain. Karena itu, memang tidak dapat dihindarkan untuk menyatakan bahwa MPR itu adalah lembaga atau kamar ketiga dari struktur parlemen Republik Indonesia (trikameral parliament).[34] Hanya saja, kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, melainkan sederajat dan seimbang dengan DPR dan DPD serta lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif (Presiden) dan kekuasaan kehakiman.[35]

DPD yang Sumir

Meskipun kedudukan DPD merupakan salah satu lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK dan BPK, yang anggota-anggotanya dipilih langsung melalui pemilu ternyata didalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sumir dan nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang demokratis. Berbeda dengan DPR yang diatur dalam tujuh pasal (Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 B), DPD hanya diatur dalam dua pasal (Pasal 22 C dan Pasal 22 D).  UUD 1945 menyebutkan secara tegas bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan (Pasal 20 A ayat 1), namun DPD tidak mempunyai fungsi-fungsi tersebut secara penuh. Dalam bidang legislasi, DPD tidak dapat ikut menetapkan UU sebagaimana layaknya lembaga perwakilan rakyat, sebab pasal 20 (1) sudah mengunci bahwa yang memegang kekuasaan membentuk UU adalah DPR.[36]

Berdasarkan Pasal 22 D ayat (1) UUD 1945, DPD pada dasarnya tidak memegang kekuasan membentuk UU. DPD hanya dapat mengajukan RUU kepada DPR. Dengan demikian DPD tidak mempunyai hak inisiatif mandiri dalam pembuatan UU. Secara sistematik ketentuan ini berkaitan dengan Pasal 20 ayat (1): DPR memegang kekusaan membentuk UU. Berdasarkan ketentuan ini, sangat logis kalau DPD bukan pembentuk UU, dan karena itu tidak memiliki hak mengajukan RUU. Kalau dipertalikan dengan sistem dua kamar, wewenang tersebut semestinya ada pada wadah tempat DPR dan DPD bernaung, bukan pada masing-masing badan.[37]

Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan contoh mengenai hubungan antara House of Representative (DPR) dan Senate di Congress (Parlemen) Amerika Serikat yang meletakkan keduanya pada fungsi legislasi yang seimbang dan bisa saling melakukan checks and balances. Di Amerika, yang membuat UU adalah kedua kamar di Congress untuk kemudian dimintakan persetujuan kepada Presiden. Tetapi, Presiden dapat memveto RUU yang telah disetujui oleh kedua kamar di Congress, maka RUU itu dikembalikan ke Congress yakni ke kamar DPR atau Senat sesuai dengan asal diajukannya RUU tersebut untuk kemudian divoting. Jika hasil voting di kamar (asal datangnya RUU) itu tetap memberlakukan RUU dengan dukungan 2/3 suara, maka RUU itu berlaku sebagai UU tanpa harus mendapat persetujuan Presiden.[38]

Ketentuan yang menyatakan DPD hanya berwenang merancang undang-undang tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah . ketentuan ini, baik dari gagasan membentuk DPD maupun konsep badan perwakilan sebagai badan legislatif pusat sangat menyesatkan. gagasan badan perwakilan daerah sebagai unsur badan legislatif- seperti Senate di Amerika Serikat-dimaksudkan sebagai cara mengikutsertakan daerah dalam menentukan politik dan pengelolaan negara melalui pembentukan undang-undang dan pengawasan atas jalannya pemerintahan, bukan sekedar persoalan-persoalan daerah.  sepanjang suatu undang-undang mengenai rakyat banyak tentu berkaitan dengan daerah, karena rakyat ada didaerah. Undang-undang tentang APBN sekalipun, berkaitan dengan kepentingan daerah. kemungikinan hanya undang-undang mengenai hubungnan luar negeri atau undang-undang untuk mendirikan pengadilan, sebagai undang-undang formal yang tidak berkaitan dengan daerah. dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak mengikutkan DPD dalam merancang dan ikut membahas segala materi muatan undang-undang.[39]

Demikian pula kalau dilihat Pasal 22 D ayat (2). Apakah yang dimaksud: DPD ikut membahas rancangan undang-undang. Sepintas lalu frasa ini seperti memberi peran kepada DPD, padahal tidak demikian. Ketentuan ini menguatkan pendirian bahwa DPD tidak mempunyai hak inisiatif dan mandiri dalam membentuk UU (sekalipun dibidang yang berkaitan dengan masalah daerah). frasa DPD ikut membahas secara hukum berarti, hanya DPR lah yang memiliki kekuasaan membentuk UU. Demikian pula mengenai hak inisiatif. Oleh sebab itu, dalam Pasal 22 ayat (1) dipergunakan kata dapat (dapat mengajukan kepada DPR…). dengan perkataan lain, DPD sama sekali tidak memiliki original power dalam pembentukan UU atau kekuasaan legislatif lainnya. Berbeda dengan House of Representatives dan Senate di Amerika Serikat yang mempunyai original power tertentu.[40]

Kewenangannya untuk ikut membahas RUU tertentu oleh UU Susduk dikurangi lagi sehingga DPD hanya boleh ikut membahas pada tahap awal pembicaraan tingkat I saja. Pasal 43 (2) UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk menggariskan bahwa DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU sebagaimana dimaksud ayat 1 bersama dengan pemerintah pada awal pembicaraan tingkat I sesuai dengan peraturan tata tertib DPR.[41] Perdebatan Hlm 70. Bahkan ada bagian yang lebih melemahkan DPD yaitu hanya memberi pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN, dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Justru dalam APBN, pajak, pendidikan dan agama harus dibahas bersama DPD karena bukan saja menyangkut politik negara tetapi juga kepentingan daerah.[42]

Dari ketentuan Pasal 22 D ayat (2), demikian juga ayat (1), DPD tidak mempunyai hak untuk menolak suatu RUU. Dimanapun di dunia ini, badan seperti DPD diberi hak menolak (seperti House of Lords di Inggris), bahkan hak melakukan perubahan-perubahan.[43]

Dilihat dari rumusan dan penjelasan Pasal 22 D ayat (1) dan (2) diatas kedudukan DPD hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR dibidang legislasi, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai co-legislator, daripada legislator yang sepenuhnya. Oleh karena itu, DPD dapat lebih berkonsentrasi di bidang pengawasan (sebagaimana dimaksud Pasal 22 D ayat (3) UUD 1945), sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektifitasnya oleh masyarakat di daerah-daerah.[44] Dengan demikian, harus dibedakan antara fungsi DPD dalam bidang legislasi dan bidang pengawasan. Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD itu bersifat utama (main constitutional organ) yang sederajat dan sama penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi , fungsi DPD hanyalah sebagai co-legislator disamping DPR. Sifat tugasnya dibidang legislasi hanya menunjang (auxiliary agency) tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives).[45]

D. Penutup

Dalam rangka konsistensi prinsip checks and balances, maka gagasan perubahan kelima UUD 1945, khususnya Pasal 22 D perlu didukung dan harus terus diperjuangkan. UUD perubahan kelima harus menegaskan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada pada lembaga perwakilan, baik MPR untuk UUD, DPR dan DPD untuk undang-undang. Perbedaan kekuasaan membentuk undang-undang antara DPR dan DPD adalah DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang secara penuh, sementara DPD secara terbatas. Sambil menunggu proses amandemen kelima UUD 1945, fungsi pengawasan DPD perlu di efektifkan sehingga dapat mendorong kemajuan otonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah.

Daftar Pustaka

Buku-Buku

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH-UII Press,           Yogyakarta, 2005.

Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), di sunting oleh Nino         Cicero, Visimedia, Jakarta, 2007.

Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam          UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.

——–, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,         Jakarta, 2006.

——–,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,            Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007.

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT. Citra            Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Strong, C.F Modern Political Constitutions (Konstitusi-Konstitusi Politik Modern), di          terjemahkan oleh SPA Teamwork, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,     DPD dan DPRD.


[1]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm 141.

[2]Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), di sunting oleh Nino Cicero, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm 5.

[3]Ibid, hlm 30-31

[4]Ibid, hlm 61

[5]Jimly…,Konstitusi dan Konstitusionalisme…,Op.cit.,hlm. 142

[6]Ibid

[7]Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 35

[8]Ibid

[9]Ibid.,hlm. 35-36

[10]Ibid

[11]Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm 27

[12] C.F. Strong, Modern Political Constitutions (Konstitusi-Konstitusi Politik Modern), di terjemahkan oleh SPA Teamwork, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm 11

[13]Ibid.,hlm.17

[14]Sri Soemantri, Op.cit.

[15]Reni Dwi Purnomowati, Op.cit.,hlm33

[16]Ibid., hlm. 27

[17]Ibid.,hlm. 29

[18]Ibid., hlm. 29-30

[19]Ibid., hlm. 12-13

[20]Ibid.,hlm.32

[21]Ibid.,hlm.35

[22]Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH-UII Press, Yogyakarta, 2005. hlm 4-5

[23]Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm.147-148

[24]Bagir Manan, Op.cit.,hlm.60-61

[25]Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007, hlm.65

[26]Ibid.,hlm.66

[27]Ibid.,hlm.59-60

[28]Jimly…, Perkembangan dan Konsolidasi…Op.cit.,hlm.140-141

[29]Ibid.,hlm.60

[30]Ibid.,hlm.60-61

[31]Ibid.,hlm.148-149

[32]Ibid.,hlm.150

[33]Ibid.,hlm.151

[34]Ibid.,hlm.153

[35]Jimly…Konstitusi dan Konstitusionalisme…Op.cit.,hlm.173

[36]Mahfud M.D, Op.cit.,hlm.67

[37]Bagir Manan, Op.cit.,hlm.68-69

[38] Mahfud M.D, Op.cit.,hlm.66-67

[39]Bagir Manan, Op.cit.,hlm.72

[40]Ibid.,hlm72-73

[41]Mahfud M.D.,Op.cit.,hlm.70

[42] Bagir Manan, Op.cit.,hlm.73

[43]Ibid

[44]Jimly…Konsolidasi…,Op.cit.,hlm.141

[45]Ibid.,hlm.143

Tinggalkan komentar